Label

Rabu, 28 Maret 2012




Sebelum membahas tentang bagaimana proses kelahiran pada sapi, maka akan dijelaskan terlebih dahulu istilah – istilah yang mungkin sangat berkaitan dengan makalah yang kami bawakan ini.
Partus (kelahiran) adalah proses keluarnya anak sapi atau yang kita sering sebut pedet dari rahim (Uterus) induknya setelah melewati masa bunting yang normal (pada sapi sekitar 275 – 285 hari)
Proses kelahiran sendiri ada yang disebut kelahiran prematur dimana proses kelahiran sebelum saatnya dengan pedet dalam keadaan hidup (Prabowo Putro, 2009)
Ada juga yang disebut abortus (keluron) adalah proses kelahiran sebelum saatnya dengan pedet dalam keadaan mati (Prabowo Putro, 2009)
Sedangkan yang paling parah adalah proses kelahiran sudah saatnya dengan pedet dalam keadaan mati yang biasanya disebut dengan Stillbirth (Prabowo P Putro, 2009)
Proses pengeluaran Fetus dan Plasenta terdiri atas tiga stadia,
a.    Stadium I           : Stadium Persiapan
b.    Stadium II         : Stadium Pengeluaran fetus
c.    Stadium III        : Stadium pengeluaran tembuni (Placenta)

Berikut prosesnya dalam setiap stadium:
1)   Stadium  I : Stadium Persiapan
a.    Dimulai dengan kontraksi otot-otot uterus, frekuensi 15 menit sekali selama 20 detik, kemudian meningkat
b.    Dilatasi servik à sumbat servik meleleh à servik membuka.
c.    Yang paling diperhatikan jika hewan tidak tenang, berbaring berdiri, berjalan ke sana ke mari dan mulai merasakan gejala rasa sakit yang sangat di daerah perut.
d.   Akhir stadium ini servik membuka penuh, hingga menjadi saluran menerus dari uterus ke vagina. Lamanya kira – kira 2 – 6 jam.
2)   Stadium II : Pengeluaran fetus
a.    Kantong amnion mulai masuk ke ruang pelvis.
b.    Kaki depan fetus mulai muncul merobek kantong amnion, menyembul dari vulva.
c.    Pecahnya kantong amnion memacu refleks kontraksi uterus, otot abdomen dan diafragma.
d.   Kaki depan dan moncong fetus masuk ruang pelvis mengakibatkan fetus terdorong keluar dengan kaki depan dan moncongnya lebih dahulu (presentasi anterior).
e.    Plasentasi lewat karunkula masih terjadi sampai fetus mulai bernafas.    Lewatnya dada fetus dlm ruang pelvis à menggencet tali pusat à meningkatkan CO2 à pusat pernafasan à pernafasan dan paru-paru mulai bekerja aktif.
f.     Fetus dikeluarkan sepenuhnya, tali pusat masih menempel pada pusar pedet yang baru dilahirkan.
g.    Lama pengeluaran fetus 0,5 – 1 jam (Partus normal) à tanpa pertolongan
h.    Bila stadium kedua lebih dari 2 jam à kesulitan partus (distokia) à perlu pertolongan darurat
i.      Pedet dibiarkan dijilati induknya, untuk membersihkan lendir & memacu proses pernafasan.
j.      Itulah akhir dari stadium II
3)   Stadium III : Pengeluaran tembuni (plasenta)
a.    Plasenta akan dikeluarkan oleh kontraksi terus menerus dari otot-otot uterus.
b.    Plasenta akan dikeluarkan dalam waktu 4 – 5 jam.
c.    Jangan dibiarkan induk memakan plasentanya sendiri, akan mengakibatkan indigesti atau timpani (kembung)
d.   Pengeluaran lebih dari 12 jam à retensi plasenta, perlu penanganan khusus: plasenta dikeluarkan & dicegah terjadinya infeksi uterus
Retensi plasenta, atau retensi sekundinarum atau retensi skundinaemerupakan suatu kegagalan pelepasan plasenta fetalis (vili kotiledon) dan  plasenta induk (kripta karunkula) lebih lama dari 8 hingga 12 jam setelah melahirkan. Retensi plasenta dapat terjadi pada mamalia, misalnya sapi. Terdapat tiga tahapan melahirkan normal pada sapi yaitu pelebaran leher rahim (serviks) selama 2-6 jam, pengeluaran fetus setengah sampai satu jam dan pengeluaran plasenta 4-5 jam. Secara normal plasenta pada hewan ternak akan keluar 6-8 jam sesudah melahirkan[1]. Pada manusia, retensi plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama 30 menit sesudah kelahiran bayi (http://id.wikipedia.org/wiki/Retensi_plasenta)

e.    involusi uterus à pulihnya uterus pasca beranak ke ukuran normal seperti sebelum bunting.
f.     Involusi uterus à uterus dan servik mengecil kembali, karunkula menghilang à sempurna setelah 30-45 hari
g.    Involusi uterus à leleran cairan dari vulva sapi pasca beranak (lokhia) à merah mendarah à lendir mendarah à semakin jernih dan akhirnya menghilang setelah 14 hari. 



Sapi yang bunting pastinya sangat menggembirakan, apalagi khususnya pada para peternak yang telah bersusah payah tetap berusaha untuk bisa memproduktifkan sapi kesayangannya baik yang ada di peternakan yang luas (farm) maupun sapi yang dipelihara hanya beberapa ekor.
Mengapa kita harus melakukan pemeriksaan terhadap sapi yang bunting?  Yang pertama adalah untuk  Menentukan bunting atau tidaknya sapi dengan ketepatan 100%, tanpa positif palsu maupun negatif palsu. Kekeliruan diagnosa positif palsu maupun negatif palsu sangatlah merugikan, Tanda-tanda positif kebuntingan: fetus, kotiledon/karunkula, kantong amnion, serta selaput embrio/fetus atau penggelinciran selaput embrio.
Sebaiknya periksa dengan seksama dan meminta bantuan dokter hewan yang terpercaya. Dan yang paling penting adalah menentukan kebuntingan seawal mungkin, dengan kemampuan menentukan umur kebuntingan serta viabilitas fetus.
1)   Pemeriksaan kebuntingan per Rektum
Pemeriksaan kebuntingan per Rektum terbagi atas tiga, yaitu :
a.    Pemeriksaan rektal : cara yang termudah, tercepat, termurah dan terakurat
b.    PKB rektal : dapat 100% akurat setelah 45 hari pasca Inseminasi Buatan/ Pengawinan
c.    Palpasi per Rektum pada saluran reproduksi kornu uterus dan serviks
2)   Teknik Pemeriksaan Rektal
1.    Sapi diamankan dengan restrain di kandang jepit, menggunakan tali, atau cara pengamanan lain, untuk keamanan operator maupun sapinya  (Think safety first!).
2.    Operator menggunakan sarung tangan plastik panjang, dilumasi secukupnya dengan menggunakan sabun mandi atau pelumas lainnya (kuku operator harus sudah dipepat pendek & dihaluskan).
3.    Masukkan tangan yang sudah diberi pelumas dalam bentuk kerucut, digerakkan berputar ke kiri-kanan pada saat melewati lubang anus (sphinkter ani).
4.    Pemasukkan tangan melewati sphinkter ani membutuhkan sedikit dorongan fisik ke arah depan.
5.    Sampai di rektum tunggu sampai tidak ada kontraksi, rektum dalam keadaan relaksasi, dikeluarkan faeses yang ada secara pelan-pelan.
6.    Bila ada kontraksi cukup kuat, sampai punggung sapi melengkung ke dorsal, upayakan untuk memijit tulang belakang hewan untuk mengurangi kontraksi rectum
7.    Palpasi dimulai dari serviks, kemudian ke depan ke kornu uteri kanan dan kiri
8.    Palpasi dilakukan mulai dari lantai ruang pelvis
9.    Langkah-langkah pemeriksaan per rektum:
a.    Cari servik pada lantai ruang pelvis.
b.    Telusuri uterus dan kornu uteri

3)   Teknik Pemeriksaan Kebuntingan Muda :
a.    Retraksi traktus reproduksi pada kebuntingan muda.
(Retraksi à menarik ke arah atas & ke belakang à dimasukkan ke ruang pelvis
b.    Palpasi uterus  pada  asimetri uterus mulai 35 hari kebuntingan
c.    Rasakan fluktuasi pada kornu uteri yang membesar (kantong amnion teraba seperti balon karet terisi air).
d.   Raba kantong amnion dengan halus lalu rasakan penggelinciran selaupt amnion
e.    Korpus luteum kebuntingan (gravidatum) à teraba sesisi (ipsilateral) kornu uteri yang bunting.
f.     Kotiledon/karunkula muncul setelah kebuntingan lewat 75 hari.

4)   Indikasi Kebuntingan
Kebuntingan juga dapat diperkirakan dengan seksama dengan memperhatikan indikasi kebuntingan berikut ini :
a.    Palpasi kantong amnion              2 bulan.
b.    Penggelinciran selaput fetus       bunting muda
c.    Palpasi kotiledon/plasentoma      > 3 bulan.
d.   Palpasi fetus                                > 3 bulan.
e.    Fremitus a. uterina media           > 3 bulan



Sapi ternak adalah hewan ternak anggota familia Bovidae dan subfamilia Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Hasil sampingan, seperti kulit, jeroan, dan tanduknya juga kemudian dimanfaatkan. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai untuk membantu bercocok tanam, seperti menarik gerobak atau bajak.
Sapi ternak saat ini merupakan keturunan dari jenis liar yang dikena  sebagai  Auerochse  atau Urochse  (bahasa Jerman berarti "sapi kuno", nama ilmiah: Bos primigenius), yang sudah punah di Eropa sejak 1627. Sapi ternak meski banyak jenisnya tetapi umumnya digolongkan menjadi satu spesies saja. (www.wikipedia.co.id)
Banyaknya jenis sapi, baik lokal dan juga yang telah didomestikasikan menyebabkan bertambahnya semangat para peternak untuk tetap menggiatkan dan mengangkat derajat sapi dan juga selalu memperkenalkan jenis jenis sapi baik sapi perah maupun sapi pedaging kepada masyarakat luas.
Berikut ada beberapa contoh – contoh sapi :
a.       Brahman Bull merupakan variasi dari sapi Brahman. Sapi ini berasal dari India dan merupakan binatang yg dianggap suci, namun dalam perkembangannya Brahman Bull banyak dikembangkan di Amerika. Sapi Brahman Bull yang ada di Indonesia berasal dari Amerika. Secara umum Brahman Bull relatif tahan terhadap penyakit dan mempunyai variasi wana kulit yang beragam dari yang berwarna putih, coklat sampai yang kehitaman, Brahman memiliki kualitas karkas yang bagus. Bobot jantan rata-rata 800 kg sedangkan bobot betina rata-rata 550 kg.
b.      Angus merupakan sapi yang mempunyai tingkat kualitas karkas yang sangat bagus, serta mempunyai ketahanan terhadap penyakit dan merupakan keturunan dari sapi Brahman. Sapi ini masuk ke Indonesia melalui Selandia Baru. Bobot rata rata pejantan angus 900 Kg, sedangkan bobot rata rata betinanya 700 kg. Sapi ini juga mempunyai tingkat produktivitas dalam berkembang biak yang sangat bagus, dimana betinannya mempunyai kemampuan yang sangat bagus untuk berkembang biak dan menyusui anaknya
c.       Diamond Liousine Merupakan keturunan sapi Eropa yang berkembang di Perancis. Sapi jenis inilah yang merajai pasar-pasar sapi di Indonesia dan merupakan sapi primadona untuk penggemukan dengan harganya relatif mahal karena sapi ini mempunyai tingkat ADG yang tinggi.
d.      Beef master merupakan persilanagan antara sapi Brahman-Hereford-shorthorn yang dikembangkan pertama kali oleh Mr. Lasater. Kombinasi antara ketiga sapi diatas menghasilkan sapi yang superior.
e.       Shorthorn Sapi ini dikembangkan di negara Inggris. Bobot jantan rata-rata 1100 kg sedangkan bobot betina rata-rata 850 kg dengan warna merah, putih, merah dan putih. Mempunyai bentuk putting susu yang baik dan produksi susunya pun baik. Anaknya kecil , namun akan tumbuh dengan cepat besar. Kualitas dagingnya baik. Berasal dari Inggris bagian Utara, sebagai sapi perah. Di eksport ke Amerika pertama kali pada tahun 1780. Disebut juga sebagai sapi jenis DURHAM.
f.       Sapi PO (singkatan dari Peranakan Ongole), di pasaran juga sering disebut sebagai Sapi Lokal atau Sapi Jawa atau Sapi Putih. Sapi PO ini hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi betina Jawa yang berwarna putih. Sapi Ongole (Bos Indicus) sebenarnya berasal dari India, termasuk tipe sapi pekerja dan pedaging yang disebarkan di Indonesia sebagai sapi Sumba Ongole (SO).
Warna bulu sapi Ongole sendiri adalah putih abu-abu dengan warna hitam di sekeliling mata, mempunyai gumba dan gelambir yang besar menggelantung, saat mencapai umur dewasa yang jantan mempunyai berat badan kurang dari 600 kg dan yang betina kurang dari 450 kg.
Bobot hidup Sapi Peranakan Ongole (PO) bervariasi mulai 220 kg hingga mencapai sekitar 600 kg. 
Saat ini Sapi PO yang murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak disilangkan dengan sapi Brahman. Oleh karena itu sapi PO sering diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih (keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. 
Sesuai dengan induk persilangannya, maka Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak, jantannya memiliki kualitas semen yang baik. 
Keunggulan sapi PO ini antara lain : Tahan terhadap panas, tahan terhadap ekto dan endoparasit; Pertumbuhan relatif cepat walau pun adaptasi terhadap pakan kurang; Prosentase karkas dan kualitas daging baik.
Sapi PO ini SUDAH diternakkan di DOMPI, dan menjadi salah satu primadona utama, relatif paling banyak dicari di pasaran.
g.      Sapi Bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil penjinakan (domestikasi) banteng liar yang telah dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali, sehingga sapi jenis ini dinamakan Sapi Bali. 
Sebagai "mantan" keturunan banteng, sapi Bali memiliki warna dan bentuk persis seperti banteng. Kaki sapi Bali jantan dan betina berwarna putih dan terdapat telau, yaitu bulu putih di bagian pantat dan bulu hitam di sepanjang punggungnya. Sapi Bali tidak berpunuk, badannya montok, dan dadanya dalam.
Sapi Bali jantan bertanduk dan berbulu warna hitam kecuali kaki dan pantat. Berat sapi Bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai 140 cm. Sapi Bali betina juga bertanduk dan berbulu warna merah bata kecuali bagian kaki dan pantat. Dibandingkan dengan sapi Bali jantan, sapi Bali betina relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350 kg.
Sewaktu lahir, baik sapi Bali jantan maupun betina berwarna merah bata. Setelah dewasa, warna bulu sapi Bali jantan berubah menjadi hitam karena pengaruh hormon testosteron. Karena itu, bila sapi Bali jantan dikebiri, warna bulunya yang hitam akan berubah menjadi merah bata. 
Keunggulan sapi Bali ini antara lain : Daya tahan terhadap panas tinggi; Pertumbuhan tetap baik walau pun dengan pakan yang jelek; Prosentase karkas tinggi dan kualitas daging baik; Reproduksi dapat beranak setiap tahun.
Sapi Bali ini SUDAH diternakkan di DOMPI, dan menjadi salah satu primadona, karena digemari masyarakat.
h.      Sapi BX (Brahman Cross), adalah ternak sapi hasil domestikasi/penjinakan sapi Brahmanyang dikembangkan di Amerika dan Australia dan disilangkan dengan berbagai jenis sapi lainnya, seperti sapi Shorthorn, sapi Santa Gertrudis, Droughmaster, Hereford, Simmental, dan sapi Limousin. Hasil silangan ini kemudian disilangkan lagi dengan sapi Brahman sehingga campuran darah dalam setiap keturunan sangat bervariasi. 
Model yang diterapkan dalam pelaksanaan pengembangan sapi Brahman Cross adalah menghasilkan ternak sapi yang memiliki pertumbuhan baik dan tahan terhadap iklim tropis serta tahan terhadap penyakit/hama penyebab penyakit, kutu dan tunggau.
Oleh karena itu, sapi ini cocok dikembangkan di Indonesia yang beriklim tropis.
Warna kulit sapi ini sangat bervariasi antara lain putih abu-abu, hitam, coklat, merah, kuning, bahkan loreng seperti harimau. Pasar tradisional tertentu masih ada yang "fanatik" dengan warna kulit, sehingga dengan banyaknya variasi warna kulit sapi ini bisa memenuhi selera tiap-tiap pasar yang cenderung masih spesifik. Sapi Brahman Cross mulai diimport Indonesia (Sulawesi) dari Australia pada tahun 1973. Pada tahun 1975, sapi Brahman cross didatangkan ke pulau Sumba dengan tujuan utama untuk memperbaiki mutu genetik sapi Ongole di pulau Sumba. Importasi Brahman cross dari Australia untuk UPT perbibitan (BPTU Sumbawa) dilakukan pada tahun 2000 dan 2001 dalam rangka revitalisasi UPT. Penyebaran di Indonesia dilakukan secara besar-besaran mulai tahun 2006 dalam rangka mendukung program percepatan pencapaian swasembada daging sapi. 
Dengan pemeliharaan secara intensif yaitu dengan kandang yang sesuai dan pakan yang berkualitas serta iklim yang menunjang, sapi ini sangat bagus pertumbuhannya. Average Daily Gain (ADG) Brahman Cross berkisar antara 1,0 - 1,8 kg/hari. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa mencapai 2 kg/hari. Dibandingkan dengan sapi lokal terutama PO (Peranakan Ongole) yang ADG nya hanya berkisar 0,4 - 0,8 kg/hari tentunya sapi ini lebih menguntungkan untuk fattening (penggemukan). 
Karkas Brahman Cross bervariasi antara 45% - 55% tergantung kondisi sapi saat timbang hidup dan performance tiap individunya. Pemeliharaan ideal untuk fattening adalah selama 60-70 hari untuk sapi betina, sedangkan untuk jantannya antara 80-90 hari, karena apabila digemukkan terlalu lama maka perkembangannya akan semakin lambat dan akan terjadi perlemakan dalam daging (marbling) yang hal ini di pasar lokal (RPH) tradisional kurang disukai oleh customer. 
Dari berbagai keunggulan tersebut di atas, dewasa ini di Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat dan Sumatera banyak bermunculan Feedlot yang secara intensif menggemukan sapi Jenis Brahman Cross ini. Sapi jenis ini belum diternakkan di DOMPI

ISTILAH UMUM PATOLOGI

Disease (penyakit/sakit): keadaan dimana suatu individu memperlihatkan kelainan/perubahan anatomi, fisiologi atau biokimiawi. (berubahnya keadaan normal ke penampakan gejala klinis)

Lesions (jejas): perubahan struktur atau morfologis terkait dengan kejadian penyakit (gross lesions, microscopic lesions atau ultrastructural lesions)

Pathognomonic lesion: lesi spesifik dari suatu penyakit
Sehat : individu yang hidup secara harmonis dengan lingkungannya

Etiology: penyebab penyakit

Faktor predisposisi: faktor2 yang dapat mengakibatkan individu menjadi rentan terhadap suatu penyakit

Gejala klinis: perubahan2 fungsi yang dapat dilihat/dinilai secara objektif (lumpuh, salivasi, peningkatan frekwensi respirasi)


Symptoms: perubahan2 fungsional yang dapat dirasakan secara subjektif oleh penderita

Prognosis: kemungkinan kelanjutan dari suatu penyakit

Diagnosis: penentuan/penjelasan tentang penyebab penyakit

Diagnosa morfologis/diagnosa anatomis: penentuan diagnosa berdasar lokasi dan bentuk2 perubahan yang terjadi (hemorrhagic enteritis, dll.).
Diagnosa etiologi: penentuan diagnosa berdasar penyebab penyakit (dirofilariasis, dll.).
Diagnosa definitive:  penentuan diagnosa berdasar penyebab penyakit spesifik (canine distemper, dll.).
Diagnosa klinis: penentuan diagnosa berdasar gejala klinis. 

Pathogenesis: sequens perkembangan penyakit dari awal kejadian penyakit hingga kesembuhan atau kematian.

Necropsy: bedah bangkai


Autopsy: bedah mayat
Biopsy: pengambilan jaringan (sedikit dari makhluk hidup) guna pemeriksaan histopatologi.
Euthanasia: mematikan makhluk hidup secara sengaja secara manusiawi.

Somatic death: kematian seluruh tubuh – hilangnya denyut jantung, tekanan darah, pernafasan dan gelombang otak.

Necrobiosis: kematian sel normal secara normal yang terjadi pada makhluk hidup (epithelial cells of the skin, leukocytes, dll).
Necrosis: perubahan morphologis pada sel akibat daya rusak dari enzim2 pada sel yang mengalami kematian pada makhluk hidup. Pada saat sel mati, lisosom2 akan pecah dan mengeluarkan enzim2 hydolosis.
Necrotic cells adalah sel mati tetapi sel mati belum tentu necrosis.

Postmortem changes: kerusakan sel setelah terjadinya kematian individu.

Postmortem autolysis: self-digestion oleh enzyme2 yang terdapat dalam sel2 setelah terjadinya kematian.
Postmortem putrefaction: pembusukan/dekomposisi akibat enzym2 yang dihasilkan oleh bakteri2 setelah terjadinya kematian.
Rigor mortis: kaku bangkai, mulai antara 1-6 jam, diakhiri 24-48 jam.
Postmortem clotting: pembekuan darah yang terjadi setelah kematian (merah gelap/current jelly clots atau kuning/chicken fat clots).
JENIS PATHOLOGY:

General pathology: mempelajari perubahan2 dasar yang terjadi pada jaringan – atrophy, necrosis, radang

Systemic pathology: mempelajari perubahan2 yang diakibatkan oleh penyakit pada organ2 tertentu secara system. Misalnya sistem respirasi, sirkulasi, pencernaan dll

Gross pathology (macroscopic pathology, pathological anatomy,morbidanatomy): mempelajari/memeriksa penyakit dengan pemeriksaan mata biasa

Cellular pathology (microscopic pathology, histopathology): mempelajari/memeriksa penyakit dengan bantuan mikroskop

Surgical pathology: mempelajari/memeriksa organ tubuh pada saat dilakukan operasi.

Clinical pathology: mempelajari penyakit dengan cara memeriksa darah, urine, feces, kerokan kulit dll.

Immunopathology: mempelajari penyakit yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh.


RINGKASAN ISTILAH PATOLOGI:


"Kasus" seperti yang diuraikan di bawah ini diharapkan dapat membantu mengenali istilah2 umum ditemui dalam patologi.

"Seekor anjing herder, 12-tahun, dibawa ke klinik hewan dengan riwayat depresi, selaput lendir pucat, dan sulit bernafas setelah latihan. Pemeriksaan fisik dilakukan oleh dokter jaga menyebutkan adanya eksudat di sekitar cuping hidung, peningkatan denyut nadi, dan abnormalitas suara jantung suara (gejala  klinis). Disimpulkan bahwa anjing tersebut memiliki tanda-tanda yang mengarah pada gagal jantung dan radang paru2 (diagnosa klinis) Pemilik diberitahu bahwa anjing itu kemungkinan besar akan mati walaupun diberikan perawatan secara intensif (prognosis).. Beberapa hari kemudian, pemilik membawa lagi anjing tersebut ke klinik dan pemilik menginginkan anjingnya ditidurkan (dimatikan) secara manusiawi (euthanasia), dan dilakukan bedah bangkai secara sistematis (pemeriksaan nekropsi). Pada pemeriksaan organ dan jaringan (gross examination) terlihat sekitar 40% dari seluruh bagian paru mengalami konsolidasi dan abses2 kecil terdistribusi merata di seluruh lobus (lesi). Terjadi penebalan dinding ventrikel kanan dan terdapat banyak Dirofilaria immitis didalam lumennya (etiologic agent). Berdasarkan temuan tersebut, disimpulkan bahwa anjing menderita Dirofilariasis (diagnosa etiologi) dan bronkopneumonia supuratif (diagnosis morfologi). Jaringan dikumpulkan untuk pengujian bakteriologis maupun virologis (pemeriksaan mikrobiologis) dan untuk pemeriksaan patologi (pemeriksaan histopatologi). Pada pemeriksaan mikrobiologis, berhasil diisolasi Staphylococcus aureus (etiologi agen) dari abses paru-paru. Pada pemeriksaan mikroskopis banyak ditemukan neutrofil serta necrosis pada parenkim paru-paru (lesi mikroskopik). Selain itu, banyak ditemukan badan inklusi dalam sel epitel bronkus (lesi pathognomonic) yang karakteristik untuk distemper (diagnosis definitif). Berdasarkan lesi dan temuan laboratorium inilah kemudian ahli patologi mencoba untuk merekonstruksi urutan kejadian dari titik awal penyakit sampai perkembangan terakhirnya (patogenesis).

MENENTUKAN PENYAKIT DENGAN PEMERIKSAAN BEDAH BANGKAI
Nekropsi komplit:
Nekropsi: pembedahan secara sistematis untuk melihat lesi2 (jejas)
- Pemeriksaan secara gross anatomi (makroskopis)
- Pemeriksaan secara mikroskopis
- Pengujian mikrobiologis
- Pemeriksaan toksikologis

Nekropsi:
- Harus dilakukan segera setelah hewan mati (menghindari postmortem autolysis dan pembususukan)
- Semua temuan dicatat dalam formulir nekropsi.
- Semua organ (luar dalam) diperiksa secara teliti

Sapi, kerbau dibaringkan dengan sisi kiri ada dibagian bawah.
Kuda dibaringkan dengan sisi kanan dibagian bawah
Hewan kecil diletakkan dengan punggung dibagian bawah.

Spesimen dikumpulkan untuk pemeriksaan/ pengujian histopatologi, mikrobiologi dan toksikologi.

Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi:
- Diambil dari berbagai organ yang mengalami perubahan (ada bagian normal dan bagian berubah). Tebal tidak boleh terlalu tebal (+/- 0,5 cm).
- Dimasukkan dalam 10% neutral-buffered formalin (minimal 10x volume spesimen).
- mencegah autolysis
- menjaga kondisi sel seperti saat masih hidup
- mencegah pengerasan organ
- Suhu kamar, tidak boleh dibekukan.

Spesimen untuk pengujian mikrobiologis

- Bakteri, virus, fungi
- diambil sesegera mungkin.
- Tiap spesimen harus terpisah
- Jenis spesimen tergantung penyakit yang dicurigai
- Rutin: paru, limpa, ginjal dan ileum
- Tidak boleh terkena formalin atau pengawet lainnya.
- Disimpan dalam suhu dingin

Spesimen untuk pengujian virologis

- Sama seperti diatas, tapi dapat dibekukan.

Spesimen untuk mikologi
- Kerokan kulit, bulu dll.
- Disimpan dalam kontainer kering tertutup rapat.
- Tidak boleh lembab.

Spesimen untuk pemeriksaan rabies
- Histopatologi: otak (hypocampus, otak kecil, setengah bagian otak) dalam formalin
- Virologis: otak (hypocampus, otak kecil, setengah bagian otak) segar dingin/beku atau dalam pengawet glycerin

Spesimen untuk pemeriksaan toksikologi
- Isi lambung, urine, darah, hati, ginjal
- Kontainer masing2 organ secara terpisah
- Dibekukan