Label

Kamis, 03 Mei 2012



Pendahuluan

Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Banyak diantara anjing-anjing kesayangan tersebut mengalami gangguan penyakit. Diantara penyakit-penyakit tersebut ada yang dapat diobati dengan metode pengobatan antara lain; tumor, gangrene, torsio dan berbagai penyakit lainya. Salah satu organ yang sering mengalami gangguan adalah limpa. Gangguan pada limpa dapat berupa torsio limpa, tumor, infark, trauma, gangguan pertumbuhan dan berbagai gangguan-gangguan lainnya.
Limpa merupakan organ limpoid terbesar dalam tubuh yang termasuk Retikulo Endothelial System (RES).  Limpa terletak pada sisi kiri abdomen sejajar dengan curvatura mayor lambung. Ketika lambung berkontraksi limpa akan terdesak ke bagian caudal abdomen. Kapsul limpa terdiri dari serat otot lunak dan elastis, parenkimnya bewarna merah dan putih. Susunan pembulu darah pada limpa terdiri dari sinusoid-sinusoid, suplai darah terbesar terutama berasal dari arteri  dan vena splenic yang memasuki limpa pada beberapa tempat sepanjang hilus dan kemudian memasuki trabekulae. Arteri splenic merupakan cabang dari artericeliak yang  memiliki 3 – 5 cabang dengan diameter 2 mm yang menyuplai darah ke omentum dan limpa.
Splenektomi adalah pengangkatan limpa secara keseluruhan atau pengangkatan sebagian limpa akibat dari suatu gangguan yang tidak dapat lagi diatasi dengan metode pengobatan. Biasanya gangguan pada limpa terlihat pada saat bedah laparotomi lain dilaksanakan, gangguan pada limpa berupa splenomegali, perputaran limpa, kematian jaringan pada limpa dan gangguan pertumbuhan.

Tinjauan Kepustakaan

Limpa
            Limpa merupakan organ limpoid terbesar dalam tubuh yang termasuk Retikulo Endothelial System (RES). Limpa diselubungi oleh jaringan fibro elastis dan otot licin (Ressang, 1984). Limpa mengandung sel RES yang merupakan faktor yang penting dalam sistem pertahanan tubuh. Adanya benda asing dalam limpa menimbulkan proses reaktif yang secara makroskopik terlihat sebagai bengkak limpa. Hal ini sering terjadi pada penyakit menular yang bersifat akut atau kronis. Perubahan lain pada limpa yaitu tumor, abses dan kelainan hematologis (Schrock, 1988). Limpa merupakan organ limpoid sekunder yang sangat berperan penting pada awal kehidupan fetus. Sel mesenkim dari limpa fetus memproduksikan sel darah merah. Disamping itu limpa berperan penting dalam proses eritropoisis pada fetus, tapi biasanya bukan merupakan fungsi limpa pada anjing dewasa. Pada beberapa kasus anemia sel mesenkim sinusoidal sanggup memproduksi sel darah merah (Archibald, 1974).
            Limpa berperan sebagai tempat penyimpanan darah oleh karenanya ukuran limpa bervariasi tergantung dari jumlah darah yang ada didalamnya (Jungueiera, 1998). Limpa bersama sum-sum tulang berfungsi membentuk eritrosit, leukosit dan limfosit. Selain itu limpa bersama sum-sum tulang dan sel RES berfungsi menghancurkan eritrosit tua, memfagosit mikroorganisme yang masuk bersama darah dan berperan dalam metabolisme nitrogen yang berhubungan dengan pembentukan asam kemih (Ressang, 1984). Sekitar 10% sel darah dihasilkan oleh sum-sum tulang dalam bentuk abnormal dan limpa membuang sel darah merah yang abnormal tersebut dari sistim sirkulasi darah (Archibald, 1974).
            Limpa terletak pada sisi kiri abdomen sejajar dengan kurvatura mayor lambung dan digantung oleh ligamentum gastrosplenicum (Archibald, 1974). Susunan pembulu darah limpa terdiri dari sinusoid- sinusoid, suplai darah terbesar terutama berasal dari arteri dan vena splenic yang bercabang-cabang memasuki limpa pada beberapa tempat sepanjang hilus dan kemudian memasuki trabekulae (Frandson, 1992).
            Splenektomi merupakan tindakan operasi pengangkatan sebagian atau pemotongan limpa yang bertujuan memulihkan pasien pada keadaan normal dari gangguan penyakit yang tidak dapat diatasi dengan metode pengobatan. Adapun beberapa indikasi splenektomi adalah torsio limpa, tumor, infark, trauma dan gangguan pertumbuhan. Apabila limpa seekor hewan diangkat atau dipotong maka ini tidak akan mengakibatkan gangguan pada hewan tersebut. Kelenjar limfe dan sum-sum tulang belakang akan menggantikan fungsi dari limpa, sehingga hewan tersebut masih bisa bertahan hidup (Ressang, 1984).

Anestesi
            Anestesi menurut kata adalah hilangnya rasa sakit. Dalam perkembangan kemudian, hilangnya rasa sakit saja disebut anestesi lokal sedangkan anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit disertai hilangnya kesadaran. Pemilihan obat anestesi umum harus didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu jenis operasi, lamanya operasi, temperamen hewan, fisiologis hewan dan spesies hewan (Ibrahim, 2000). Pada pelaksanaan pembedahan obat anestesi umum  yang lebih  sering dipakai  dalam  bentuk  kombinasi  dari  pada tunggal, karena pemberian  secara  tunggal  relatif   tidak diperoleh hasil yang memuaskan (Ko dkk., 2007).
Kombinasi ketamin-xylazin ini merupakan kombinasi obat anestesi yang sinergis dan kombinasi ini dapat meningkatkan kerja masing-masing obat dimana xylazin memberikan efek relaksasi otot yang baik, sedangkan ketamin memberikan efek analgesik yang kuat (Brown dkk., 1991; Bishop, 1996; Trimastuti, 2001). Ibrahim (2000) menyatakan untuk operasi-operasi daerah tertentu seperti perut, maka selain hilangnya rasa sakit juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal, agar operasi berlangsung lancar. Obat anestesi umum yang ideal adalah murah, mudah didapat, tidak mudah terbakar, stabil pada suhu kamar, cepat dieliminasi dan tanpa efek yang tidak diinginkan (Ganiswarna, 1995).
            Pemberian obat anestesi secara intravena tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respon pasien. Disamping itu obat yang diberikan intravena tidak dapat ditarik kembali. Obat anestesi umum juga dapat diberikan secara intramuskular, namun kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorbsi, obat yang larut dalam air lebih cepat diserap dibandingkan obat yang larut dalam lemak (Ganiswarna, 1995).
  
Persiapan Operasi

Tempat, Alat dan Bahan
Pembedahan dilakuakan di Laboratorium Klinik FKH UNSYIAH. Sebelum operasi dilaksanakan ruangan dan tempat operasi dibersihkan. Alat-alat  operasi yang digunakan berupa satu set mayor surgery, sebelum digunakan alat-alat tersebut dibersihkan kemudian disterilkan  dengan autoclaving dengan suhu 121°C selama 30 menit. (Anonimous, 2004). Bahan yang diperlukan berupa alkohol 70 %, iodine 3 %, benang silk, catgut, SWAT, wounder dust preparat antibiotic, vitamin B-plex  dan atropine sulfat dengan dosis 0.04 mg/kg BB yang diberikan secara sub kutan yang berfungsi sebagai premedikasi. Ketamin HCL 10% dengan dosis 10 mg/kg BB dan Xylazin HCL 10 % dengan dosis 2 mg/kg BB dikombinasikan dalam satu spuit yang berfungsi sebagai anestetika umum yang diberikan secara intramuscular (Erwin, 2006). Selama berlangsung stadium anestesi, anestesiolog memonitor frekuensi denyut jantung dan pernafasan setiap 5 menit (Tilley dan Smith, 2000).

 Persiapan Pasien
            Sebelum diberikan anestetika umum, pasien yang telah diperiksa keadaan fisik dan keadaan darah rutin dipuasakan selama 8-12 jam. Hewan dimandikan dan dilakukan pencukuran bulu pada daerah operasi. Berat badan pasien ditimbang untuk menentukan dosis obat yang digunakan.

Teknik Operasi
Pasien yang telah teranestesi diletakkan pada posisi dorsal recumbency pada meja operasi, daerah operasi didesinfeksi dengan iodium tincture 3 % secara sirkuler. Pemasangan kain drapping pada daerah operasi kecuali daerah yang dilalui pisau operasi. Incisi pertama dilakukan pada kulit sepanjang 4-6 cm pada bagian atas umbilicalis, preparer antara kulit dan fascia untuk mendapatkan linea alba. Kemudian incisi kedua pada muskulus dan peritoneum.
Setelah rongga peritoneum terbuka, cari limpa pada daerah kiri lambung dan dikeluarkan dari rongga abdomen, kemudian letakkan limpa diatas drapping. Perhatikan bagian limpa yang akan dibuang dan lakukan ligasi pada pembulu darah yang menuju bagian limpa yang akan dibuang, kemudian baru injeksikan adrenalin. Pada bagian yang akan dipotong kapsulanya ditekan-tekan menggunakan telunjuk dan ibu jari, pasang doyen clamp melintang pada daerah yang ditekan, kemudian pasang lagi 2 doyen clamp dikiri dan kanan doyen clamp pertama. Doyen clamp ditengah dibuka, kemudian lakukan pemotongan limpa dari ujung distal doyen clamp. Jahit kapsulanya dengan benang catgut chromic. Doyen clamp yang terpasang dilepaskan, bersihkan darah dengan tampon dan masukkan limpa kembali kerongga abdomen. Lakukan penjahitan peritoneum dengan benang cotton (simple interrupted) dan muskulus dengan fascia dengan benang plain catgut (simple continous). Kulit dijahit dengan benang cotton dengan pola jahitan simple interrupted (Hickman dan Walker, 1980). Bersihkan daerah operasi dan berikan iodium tincture 3 % dan injeksikan penicillin oil kedalam luka tersebut. 

Diskusi

Pada tanggal 10 Januari 2008 telah dilakukan pembedahan pada seekor anjing milik Tn. Erwin dengan nama Cencen. Anjing tersebut berjenis kelamin betina berumur 6 bulan. berdasarkan hasil pemeriksaan klinis anjing tersebut menunjukkan gangguan pada limpa. Setelah dilakukan X-ray terlihat limpa membengkak, kami mengambil keputusan anjing tersebut harus menjalani pembedahan. Sebelum pembedahan dilaksanakan pasien dilakukan pemeriksaan rutin darah yang meliputi jumlah eritrosit, leukosit, hemoglobin dan hematokrit.
Untuk menghidari terjadinya muntah yang merupakan salah satu efek dari obat anestesi, sebelum obat anestesi diberikan terlebih dahulu diberikan obat premedikasi. Anjing dipuasakan 8-12 jam dan dimandikan sebelum diberikan anestesi umum. Anestesi umum yang digunakan adalah kombinasi ketamin-xylazin yang diberikan secara intravena. Tujuan pemberian obat anestesi secara intravena yaitu untuk menghemat dosis obat yang akan digunakan, karena pada pemberian intravena obat tidak lagi mengalami tahap absorbsi dan langsung didistribusikan keseluruh tubuh (Ganiswarna, 1995).
Setelah hewan teranestesi dilakukan pencukuran bulu pada daerah operasi yaitu sepanjang 4-6 cm dari atas umbilicalis. Lakukan disinfeksi daerah operasi dengan iodium tincture secara sirkuler, agar mikroorganisme yang berada ditempat operasi terseret ke tepid an tidak tertumpuk pada daerah operasi. Lakukan pemasangan kain draping pada daerah operasi, kecuali daerah yang dilalui pisau operasi. Incisi pertama dilakukan pada kulit, kulit dipreparir dengan gunting bengkok dan akan terlihat linea alba. Incisi kedua dilakukan pada muskulus tepat pada garis median, setelah muskulus diincisi dengan hati-hati lakukan incisi pada peritoneum. Setelah rongga peritoneum terbuka cari limpa pada daerah kiri bawah dari gastrium tepat pada curvatura mayor, kemudian limpa dikeluarkan dan amati bagian limpa yang mengalami gangguan atau keseluruhan limpa yang mengalami gangguan. Jika hanya sebagian limpa yang mengalami gangguan, maka cukup bagian tersebut yang dibuang, namun jika seluruh limpa yang terganggu, maka keseluruhan limpa yang harus dibuang. Pada pasien yang dilakukan pembedahan hanya sebagian limpa yang mengalami gangguan, jadi hanya ¼  dari limpa yang dibuang.
Pembulu darah arteri yang menuju bagian limpa yang akan dibuang tersebut diligasi, kemudian injeksikan adrenalin yang berfungsi untuk mengeluarkan darah pada limpa. Adrenalin bekerja pada pembulu darah dan limpa dimana menyebabkan vasokonstriksi  pada pada pembulu darah dan konstriksi limpa sehingga darah akan keluar dari limpa melalui pembulu vena. Perbatasan limpa yang akan dibuang ditekan dengan jari baru dilakukan pemasangan doyen clamp pertama, doyen clamp kedua dan ketiga dipasang disamping kiri dan kanan doyen clamp pertama. Doyen clamp pertama dibuka dan dilakukan incisi pada bagian tengah yang dimulai dari ujung distal doyen clamp. Buang bagian limpa tersebut dan lakukan penjahitan pada limpa dengan benang catgut cromic dengan pola simple continous, darah pada limpa dibersihkan dengan tampon baru kemudian limpa dimasukkan kembali ke rongga abdomen. Penstrep sebanyak 1 ml diinjeksikan ke dalam rongga peritoneum untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang kemungkinan terkontaminasi pada saat pembedahan. Peritoneum dijahit dengan benang cotton yang telah disterilkan dengan pola jahitan simple interupted. Muskulus dan fascia dijahit dengan benang plain catgut dengan pola jahitan simple continous dan kulit dijahit dengan benang cotton dengan pola jahitan simple interrupted. Adapun tujuan peritoneum dijahit dengan benang cotton yaitu untuk mencegah terbukanya petitoneum, karena jika peritoneum dijahit dengan benang catgut maka dikhawatirkan luka belum sembuh, tapi benang sudah diserap dan isi rongga abdomen akan terkulai keluar. Setelah daerah operasi selesai dijahit, daerah operasi  dibersihkan dan kemudian dilakukan injeksik penicillin oil diantara luka operasi dan ditaburkan SWAT dan Wounder dust.
Perawatan pasca operasi, hewan ditempatkan pada lingkungan/kandang  yang bersih, diamati terus selama 7 hari berturut-turut, begitu juga dengan pemberian obat juga dilakukan selama 7 hari. Adapun obat-obat yang diberikan sebagai berikut;

R/        Amoxan                                  70 mg
            Ponstan                                   70 mg
            Dexamethasone                       0.25 mg
            B-plex                                     ½ tab
            m.f.pulv.dtd da in caps           No. XV
S3 dd 1 Caps



                                                            Paraf

R/        Bioplacenton Salp                   1 Tube
            Sue
                                                            Paraf

Pertautan tepi luka sebenarnya langsung terjadi sebagai respon untuk mengembalikan tubuh pada keadaaan normal, dimana terjadi regenerasi jaringan yang telah mengalami kerusakan (Darma, 1997). Pada hari ke 6  sampai  hari ke-7, luka mulai mengering. Luka operasi   ditangani  secara   tepat   akan   menyatu  dengan  sempurna  antara 7 - 14  hari (Walker, 1980).
Reaksi jaringan yang ditujukan proses penyembuhan luka yang meliputi kemerahan, kebengkakan dan cairan radang seperti yang dijelaskan diatas sangat dipengaruhi oleh jenis luka, infeksi bakteri patogen, pola jahitan dan tentu saja nutrisi esensial yang diperlukan untuk sintesis mekanisme radang dan kekeringan luka.
           
Kesimpulan

            Splenektomi dapat dilakukan jika dengan metode pengobatan tidak dapat memulihkan pasien dari berbagai penyakit yang menyerang organ tersebut. Jika limpa dibuang sum-sum tulang  dan kelenjar limfe akan mengambil alih fungsi limpa, sehingga hewan akan tetap hidup.

Problem  Fiksasi Fraktur Area Epiphysial Os Radius Ulna

Fraktur merupakan suatu diskontinuitas yang abnormal, umumnya disebabkan oleh trauma atau karena adanya kelainan dalam tulang tersebut, sehingga mudah terjadi patah tulang tanpa adanya trauma dari luar (patah tulang patologis). Patah tulang akibat trauma menimbulkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh trauma itu sendiri dan lokalisasi patah umumnya sesuai dengan tempat trauma, sedangkan patah tulang patologis juga menimbulkan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh patah tulang, namun lokalisasi trauma dapat tidak sesuai dengan lokalisasi patah.
 Dalam menangani fraktur akibat trauma dikenal konsep dasar “4 R” yaitu rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi. Rekognisis adalah pengenalan terhadap fraktur melakukan berbagai diagnosa untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang fraktur, sehingga diharapkan dapat membantu dalam penanganan fraktur. Reduksi adalah suatu tindakan untuk mengembalikan fragmen-fragmen tulang yang mengalami fraktur semirip mungkin ke keadan semula, sedangkan retensi adalah mempertahankan kondisi reduksi selama masa penyembuhan. Yang terakhir adalah Rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan kondisi tulang yang patah ke keadaan normal dan tanpa menggagu proses fiksasi.
Tulang adalah kerangka tubuh serta merupakan pertautan otot serta tendon yang merupakan alat gerak. Tulang juga sebagai alat pelindung dan merupakan tempat sum-sum tulang. Tulang dianggap sebagai gudang garam kalsium yang melalui metabolisme mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Exstremitas cranialis terdiri tulang scapula, humerus, radius ulna, tarsal dan metatarsal. Tulang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu bagian yaitu epiphysis, physis, apophysis, metaphysis, diaphysis, medulla dan korteks. Epiphysis merupakan bagian paling distal dari tulang itu sendiri. Fraktur pada epiphysial os radius ulna merupakan fraktur yang sangat sulit proses kesembuhannya, karena miskin akan pembuluh darah.
Ada beberapa problem yang menyebabkan fraktur epiphysial os radius ulna sulit untuk sembuh. Os radius ulna merupakan tulang yang miskin pembuluh darah, sehingga vaskularisasi sangat kurang. Daerah epiphysial merupakan daerah distal dari os radius ulna, yang selalu bergerak sehingga dapat menggangu proses fiksasi yang telah dilakukan. Pergerakan yang selalu terjadi menyebabkan kedua fragmen yang patah tidak menyatu dan memperlambat pembentukan kallus. Fiksasi memegang peranan penting dalam pembentukan kallus, karena jika kallus sudah mulai terbentuk namun fiksasi kurang baik menyebabkan kedua fragmen yang patah kembali bergeser (delayed union). Fiksasi ada 2 yaitu fiksasi terbuka dan fiksasi tertutup. Untuk menangani fraktur pada daerah os radius ulna disarankan menggunakan fiksasi terbuka dengan menggukan wire suture (menjahit dengan kawat). Kemudian setelah prosen fiksasi selesai dilakukan pemasangan gips untuk mencegah terjadinya pergerakan yang akan mengganggu proses fiksasi. Gips adalah mineral yang terdapat di dalam tanah dengan formula CaSO4 2H20 dan merupakan batu putih yang banyak terdapat di Indonesia. Bahan ini dibakar sampai 130 °C dan formulanya kehilangan sebagian dari H20 menjadi CaSO4 2H20 dan kemudian di bubuk halus. Bahan ini mempunyai keistimewaan bila dicampur air maka akan kembali mengeras. Bubuk gips tersebut biasanya dicampurkan dalam bahan pembalut, sehingga dapat diletakkan pada bahan pembalut dan direndam supaya siap dipakai baru kemudian akan mengeras. Bagian tubuh yang dibalut gips ini tidak dapat bergerak secara bebas. Kondisi ini sangat baik digunakan pada bagian tubuh yang sedang dalam masa retensi, apalagi pada daerah os radius ulna bagian epiphysial.

Rabu, 28 Maret 2012




Sebelum membahas tentang bagaimana proses kelahiran pada sapi, maka akan dijelaskan terlebih dahulu istilah – istilah yang mungkin sangat berkaitan dengan makalah yang kami bawakan ini.
Partus (kelahiran) adalah proses keluarnya anak sapi atau yang kita sering sebut pedet dari rahim (Uterus) induknya setelah melewati masa bunting yang normal (pada sapi sekitar 275 – 285 hari)
Proses kelahiran sendiri ada yang disebut kelahiran prematur dimana proses kelahiran sebelum saatnya dengan pedet dalam keadaan hidup (Prabowo Putro, 2009)
Ada juga yang disebut abortus (keluron) adalah proses kelahiran sebelum saatnya dengan pedet dalam keadaan mati (Prabowo Putro, 2009)
Sedangkan yang paling parah adalah proses kelahiran sudah saatnya dengan pedet dalam keadaan mati yang biasanya disebut dengan Stillbirth (Prabowo P Putro, 2009)
Proses pengeluaran Fetus dan Plasenta terdiri atas tiga stadia,
a.    Stadium I           : Stadium Persiapan
b.    Stadium II         : Stadium Pengeluaran fetus
c.    Stadium III        : Stadium pengeluaran tembuni (Placenta)

Berikut prosesnya dalam setiap stadium:
1)   Stadium  I : Stadium Persiapan
a.    Dimulai dengan kontraksi otot-otot uterus, frekuensi 15 menit sekali selama 20 detik, kemudian meningkat
b.    Dilatasi servik à sumbat servik meleleh à servik membuka.
c.    Yang paling diperhatikan jika hewan tidak tenang, berbaring berdiri, berjalan ke sana ke mari dan mulai merasakan gejala rasa sakit yang sangat di daerah perut.
d.   Akhir stadium ini servik membuka penuh, hingga menjadi saluran menerus dari uterus ke vagina. Lamanya kira – kira 2 – 6 jam.
2)   Stadium II : Pengeluaran fetus
a.    Kantong amnion mulai masuk ke ruang pelvis.
b.    Kaki depan fetus mulai muncul merobek kantong amnion, menyembul dari vulva.
c.    Pecahnya kantong amnion memacu refleks kontraksi uterus, otot abdomen dan diafragma.
d.   Kaki depan dan moncong fetus masuk ruang pelvis mengakibatkan fetus terdorong keluar dengan kaki depan dan moncongnya lebih dahulu (presentasi anterior).
e.    Plasentasi lewat karunkula masih terjadi sampai fetus mulai bernafas.    Lewatnya dada fetus dlm ruang pelvis à menggencet tali pusat à meningkatkan CO2 à pusat pernafasan à pernafasan dan paru-paru mulai bekerja aktif.
f.     Fetus dikeluarkan sepenuhnya, tali pusat masih menempel pada pusar pedet yang baru dilahirkan.
g.    Lama pengeluaran fetus 0,5 – 1 jam (Partus normal) à tanpa pertolongan
h.    Bila stadium kedua lebih dari 2 jam à kesulitan partus (distokia) à perlu pertolongan darurat
i.      Pedet dibiarkan dijilati induknya, untuk membersihkan lendir & memacu proses pernafasan.
j.      Itulah akhir dari stadium II
3)   Stadium III : Pengeluaran tembuni (plasenta)
a.    Plasenta akan dikeluarkan oleh kontraksi terus menerus dari otot-otot uterus.
b.    Plasenta akan dikeluarkan dalam waktu 4 – 5 jam.
c.    Jangan dibiarkan induk memakan plasentanya sendiri, akan mengakibatkan indigesti atau timpani (kembung)
d.   Pengeluaran lebih dari 12 jam à retensi plasenta, perlu penanganan khusus: plasenta dikeluarkan & dicegah terjadinya infeksi uterus
Retensi plasenta, atau retensi sekundinarum atau retensi skundinaemerupakan suatu kegagalan pelepasan plasenta fetalis (vili kotiledon) dan  plasenta induk (kripta karunkula) lebih lama dari 8 hingga 12 jam setelah melahirkan. Retensi plasenta dapat terjadi pada mamalia, misalnya sapi. Terdapat tiga tahapan melahirkan normal pada sapi yaitu pelebaran leher rahim (serviks) selama 2-6 jam, pengeluaran fetus setengah sampai satu jam dan pengeluaran plasenta 4-5 jam. Secara normal plasenta pada hewan ternak akan keluar 6-8 jam sesudah melahirkan[1]. Pada manusia, retensi plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama 30 menit sesudah kelahiran bayi (http://id.wikipedia.org/wiki/Retensi_plasenta)

e.    involusi uterus à pulihnya uterus pasca beranak ke ukuran normal seperti sebelum bunting.
f.     Involusi uterus à uterus dan servik mengecil kembali, karunkula menghilang à sempurna setelah 30-45 hari
g.    Involusi uterus à leleran cairan dari vulva sapi pasca beranak (lokhia) à merah mendarah à lendir mendarah à semakin jernih dan akhirnya menghilang setelah 14 hari. 



Sapi yang bunting pastinya sangat menggembirakan, apalagi khususnya pada para peternak yang telah bersusah payah tetap berusaha untuk bisa memproduktifkan sapi kesayangannya baik yang ada di peternakan yang luas (farm) maupun sapi yang dipelihara hanya beberapa ekor.
Mengapa kita harus melakukan pemeriksaan terhadap sapi yang bunting?  Yang pertama adalah untuk  Menentukan bunting atau tidaknya sapi dengan ketepatan 100%, tanpa positif palsu maupun negatif palsu. Kekeliruan diagnosa positif palsu maupun negatif palsu sangatlah merugikan, Tanda-tanda positif kebuntingan: fetus, kotiledon/karunkula, kantong amnion, serta selaput embrio/fetus atau penggelinciran selaput embrio.
Sebaiknya periksa dengan seksama dan meminta bantuan dokter hewan yang terpercaya. Dan yang paling penting adalah menentukan kebuntingan seawal mungkin, dengan kemampuan menentukan umur kebuntingan serta viabilitas fetus.
1)   Pemeriksaan kebuntingan per Rektum
Pemeriksaan kebuntingan per Rektum terbagi atas tiga, yaitu :
a.    Pemeriksaan rektal : cara yang termudah, tercepat, termurah dan terakurat
b.    PKB rektal : dapat 100% akurat setelah 45 hari pasca Inseminasi Buatan/ Pengawinan
c.    Palpasi per Rektum pada saluran reproduksi kornu uterus dan serviks
2)   Teknik Pemeriksaan Rektal
1.    Sapi diamankan dengan restrain di kandang jepit, menggunakan tali, atau cara pengamanan lain, untuk keamanan operator maupun sapinya  (Think safety first!).
2.    Operator menggunakan sarung tangan plastik panjang, dilumasi secukupnya dengan menggunakan sabun mandi atau pelumas lainnya (kuku operator harus sudah dipepat pendek & dihaluskan).
3.    Masukkan tangan yang sudah diberi pelumas dalam bentuk kerucut, digerakkan berputar ke kiri-kanan pada saat melewati lubang anus (sphinkter ani).
4.    Pemasukkan tangan melewati sphinkter ani membutuhkan sedikit dorongan fisik ke arah depan.
5.    Sampai di rektum tunggu sampai tidak ada kontraksi, rektum dalam keadaan relaksasi, dikeluarkan faeses yang ada secara pelan-pelan.
6.    Bila ada kontraksi cukup kuat, sampai punggung sapi melengkung ke dorsal, upayakan untuk memijit tulang belakang hewan untuk mengurangi kontraksi rectum
7.    Palpasi dimulai dari serviks, kemudian ke depan ke kornu uteri kanan dan kiri
8.    Palpasi dilakukan mulai dari lantai ruang pelvis
9.    Langkah-langkah pemeriksaan per rektum:
a.    Cari servik pada lantai ruang pelvis.
b.    Telusuri uterus dan kornu uteri

3)   Teknik Pemeriksaan Kebuntingan Muda :
a.    Retraksi traktus reproduksi pada kebuntingan muda.
(Retraksi à menarik ke arah atas & ke belakang à dimasukkan ke ruang pelvis
b.    Palpasi uterus  pada  asimetri uterus mulai 35 hari kebuntingan
c.    Rasakan fluktuasi pada kornu uteri yang membesar (kantong amnion teraba seperti balon karet terisi air).
d.   Raba kantong amnion dengan halus lalu rasakan penggelinciran selaupt amnion
e.    Korpus luteum kebuntingan (gravidatum) à teraba sesisi (ipsilateral) kornu uteri yang bunting.
f.     Kotiledon/karunkula muncul setelah kebuntingan lewat 75 hari.

4)   Indikasi Kebuntingan
Kebuntingan juga dapat diperkirakan dengan seksama dengan memperhatikan indikasi kebuntingan berikut ini :
a.    Palpasi kantong amnion              2 bulan.
b.    Penggelinciran selaput fetus       bunting muda
c.    Palpasi kotiledon/plasentoma      > 3 bulan.
d.   Palpasi fetus                                > 3 bulan.
e.    Fremitus a. uterina media           > 3 bulan