Label

Rabu, 28 Maret 2012




Sapi ternak adalah hewan ternak anggota familia Bovidae dan subfamilia Bovinae. Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Hasil sampingan, seperti kulit, jeroan, dan tanduknya juga kemudian dimanfaatkan. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai untuk membantu bercocok tanam, seperti menarik gerobak atau bajak.
Sapi ternak saat ini merupakan keturunan dari jenis liar yang dikena  sebagai  Auerochse  atau Urochse  (bahasa Jerman berarti "sapi kuno", nama ilmiah: Bos primigenius), yang sudah punah di Eropa sejak 1627. Sapi ternak meski banyak jenisnya tetapi umumnya digolongkan menjadi satu spesies saja. (www.wikipedia.co.id)
Banyaknya jenis sapi, baik lokal dan juga yang telah didomestikasikan menyebabkan bertambahnya semangat para peternak untuk tetap menggiatkan dan mengangkat derajat sapi dan juga selalu memperkenalkan jenis jenis sapi baik sapi perah maupun sapi pedaging kepada masyarakat luas.
Berikut ada beberapa contoh – contoh sapi :
a.       Brahman Bull merupakan variasi dari sapi Brahman. Sapi ini berasal dari India dan merupakan binatang yg dianggap suci, namun dalam perkembangannya Brahman Bull banyak dikembangkan di Amerika. Sapi Brahman Bull yang ada di Indonesia berasal dari Amerika. Secara umum Brahman Bull relatif tahan terhadap penyakit dan mempunyai variasi wana kulit yang beragam dari yang berwarna putih, coklat sampai yang kehitaman, Brahman memiliki kualitas karkas yang bagus. Bobot jantan rata-rata 800 kg sedangkan bobot betina rata-rata 550 kg.
b.      Angus merupakan sapi yang mempunyai tingkat kualitas karkas yang sangat bagus, serta mempunyai ketahanan terhadap penyakit dan merupakan keturunan dari sapi Brahman. Sapi ini masuk ke Indonesia melalui Selandia Baru. Bobot rata rata pejantan angus 900 Kg, sedangkan bobot rata rata betinanya 700 kg. Sapi ini juga mempunyai tingkat produktivitas dalam berkembang biak yang sangat bagus, dimana betinannya mempunyai kemampuan yang sangat bagus untuk berkembang biak dan menyusui anaknya
c.       Diamond Liousine Merupakan keturunan sapi Eropa yang berkembang di Perancis. Sapi jenis inilah yang merajai pasar-pasar sapi di Indonesia dan merupakan sapi primadona untuk penggemukan dengan harganya relatif mahal karena sapi ini mempunyai tingkat ADG yang tinggi.
d.      Beef master merupakan persilanagan antara sapi Brahman-Hereford-shorthorn yang dikembangkan pertama kali oleh Mr. Lasater. Kombinasi antara ketiga sapi diatas menghasilkan sapi yang superior.
e.       Shorthorn Sapi ini dikembangkan di negara Inggris. Bobot jantan rata-rata 1100 kg sedangkan bobot betina rata-rata 850 kg dengan warna merah, putih, merah dan putih. Mempunyai bentuk putting susu yang baik dan produksi susunya pun baik. Anaknya kecil , namun akan tumbuh dengan cepat besar. Kualitas dagingnya baik. Berasal dari Inggris bagian Utara, sebagai sapi perah. Di eksport ke Amerika pertama kali pada tahun 1780. Disebut juga sebagai sapi jenis DURHAM.
f.       Sapi PO (singkatan dari Peranakan Ongole), di pasaran juga sering disebut sebagai Sapi Lokal atau Sapi Jawa atau Sapi Putih. Sapi PO ini hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi betina Jawa yang berwarna putih. Sapi Ongole (Bos Indicus) sebenarnya berasal dari India, termasuk tipe sapi pekerja dan pedaging yang disebarkan di Indonesia sebagai sapi Sumba Ongole (SO).
Warna bulu sapi Ongole sendiri adalah putih abu-abu dengan warna hitam di sekeliling mata, mempunyai gumba dan gelambir yang besar menggelantung, saat mencapai umur dewasa yang jantan mempunyai berat badan kurang dari 600 kg dan yang betina kurang dari 450 kg.
Bobot hidup Sapi Peranakan Ongole (PO) bervariasi mulai 220 kg hingga mencapai sekitar 600 kg. 
Saat ini Sapi PO yang murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak disilangkan dengan sapi Brahman. Oleh karena itu sapi PO sering diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih (keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. 
Sesuai dengan induk persilangannya, maka Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak, jantannya memiliki kualitas semen yang baik. 
Keunggulan sapi PO ini antara lain : Tahan terhadap panas, tahan terhadap ekto dan endoparasit; Pertumbuhan relatif cepat walau pun adaptasi terhadap pakan kurang; Prosentase karkas dan kualitas daging baik.
Sapi PO ini SUDAH diternakkan di DOMPI, dan menjadi salah satu primadona utama, relatif paling banyak dicari di pasaran.
g.      Sapi Bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil penjinakan (domestikasi) banteng liar yang telah dilakukan sejak akhir abad ke 19 di Bali, sehingga sapi jenis ini dinamakan Sapi Bali. 
Sebagai "mantan" keturunan banteng, sapi Bali memiliki warna dan bentuk persis seperti banteng. Kaki sapi Bali jantan dan betina berwarna putih dan terdapat telau, yaitu bulu putih di bagian pantat dan bulu hitam di sepanjang punggungnya. Sapi Bali tidak berpunuk, badannya montok, dan dadanya dalam.
Sapi Bali jantan bertanduk dan berbulu warna hitam kecuali kaki dan pantat. Berat sapi Bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai 140 cm. Sapi Bali betina juga bertanduk dan berbulu warna merah bata kecuali bagian kaki dan pantat. Dibandingkan dengan sapi Bali jantan, sapi Bali betina relatif lebih kecil dan berat badannya sekitar 250 hingga 350 kg.
Sewaktu lahir, baik sapi Bali jantan maupun betina berwarna merah bata. Setelah dewasa, warna bulu sapi Bali jantan berubah menjadi hitam karena pengaruh hormon testosteron. Karena itu, bila sapi Bali jantan dikebiri, warna bulunya yang hitam akan berubah menjadi merah bata. 
Keunggulan sapi Bali ini antara lain : Daya tahan terhadap panas tinggi; Pertumbuhan tetap baik walau pun dengan pakan yang jelek; Prosentase karkas tinggi dan kualitas daging baik; Reproduksi dapat beranak setiap tahun.
Sapi Bali ini SUDAH diternakkan di DOMPI, dan menjadi salah satu primadona, karena digemari masyarakat.
h.      Sapi BX (Brahman Cross), adalah ternak sapi hasil domestikasi/penjinakan sapi Brahmanyang dikembangkan di Amerika dan Australia dan disilangkan dengan berbagai jenis sapi lainnya, seperti sapi Shorthorn, sapi Santa Gertrudis, Droughmaster, Hereford, Simmental, dan sapi Limousin. Hasil silangan ini kemudian disilangkan lagi dengan sapi Brahman sehingga campuran darah dalam setiap keturunan sangat bervariasi. 
Model yang diterapkan dalam pelaksanaan pengembangan sapi Brahman Cross adalah menghasilkan ternak sapi yang memiliki pertumbuhan baik dan tahan terhadap iklim tropis serta tahan terhadap penyakit/hama penyebab penyakit, kutu dan tunggau.
Oleh karena itu, sapi ini cocok dikembangkan di Indonesia yang beriklim tropis.
Warna kulit sapi ini sangat bervariasi antara lain putih abu-abu, hitam, coklat, merah, kuning, bahkan loreng seperti harimau. Pasar tradisional tertentu masih ada yang "fanatik" dengan warna kulit, sehingga dengan banyaknya variasi warna kulit sapi ini bisa memenuhi selera tiap-tiap pasar yang cenderung masih spesifik. Sapi Brahman Cross mulai diimport Indonesia (Sulawesi) dari Australia pada tahun 1973. Pada tahun 1975, sapi Brahman cross didatangkan ke pulau Sumba dengan tujuan utama untuk memperbaiki mutu genetik sapi Ongole di pulau Sumba. Importasi Brahman cross dari Australia untuk UPT perbibitan (BPTU Sumbawa) dilakukan pada tahun 2000 dan 2001 dalam rangka revitalisasi UPT. Penyebaran di Indonesia dilakukan secara besar-besaran mulai tahun 2006 dalam rangka mendukung program percepatan pencapaian swasembada daging sapi. 
Dengan pemeliharaan secara intensif yaitu dengan kandang yang sesuai dan pakan yang berkualitas serta iklim yang menunjang, sapi ini sangat bagus pertumbuhannya. Average Daily Gain (ADG) Brahman Cross berkisar antara 1,0 - 1,8 kg/hari. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa mencapai 2 kg/hari. Dibandingkan dengan sapi lokal terutama PO (Peranakan Ongole) yang ADG nya hanya berkisar 0,4 - 0,8 kg/hari tentunya sapi ini lebih menguntungkan untuk fattening (penggemukan). 
Karkas Brahman Cross bervariasi antara 45% - 55% tergantung kondisi sapi saat timbang hidup dan performance tiap individunya. Pemeliharaan ideal untuk fattening adalah selama 60-70 hari untuk sapi betina, sedangkan untuk jantannya antara 80-90 hari, karena apabila digemukkan terlalu lama maka perkembangannya akan semakin lambat dan akan terjadi perlemakan dalam daging (marbling) yang hal ini di pasar lokal (RPH) tradisional kurang disukai oleh customer. 
Dari berbagai keunggulan tersebut di atas, dewasa ini di Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat dan Sumatera banyak bermunculan Feedlot yang secara intensif menggemukan sapi Jenis Brahman Cross ini. Sapi jenis ini belum diternakkan di DOMPI

ISTILAH UMUM PATOLOGI

Disease (penyakit/sakit): keadaan dimana suatu individu memperlihatkan kelainan/perubahan anatomi, fisiologi atau biokimiawi. (berubahnya keadaan normal ke penampakan gejala klinis)

Lesions (jejas): perubahan struktur atau morfologis terkait dengan kejadian penyakit (gross lesions, microscopic lesions atau ultrastructural lesions)

Pathognomonic lesion: lesi spesifik dari suatu penyakit
Sehat : individu yang hidup secara harmonis dengan lingkungannya

Etiology: penyebab penyakit

Faktor predisposisi: faktor2 yang dapat mengakibatkan individu menjadi rentan terhadap suatu penyakit

Gejala klinis: perubahan2 fungsi yang dapat dilihat/dinilai secara objektif (lumpuh, salivasi, peningkatan frekwensi respirasi)


Symptoms: perubahan2 fungsional yang dapat dirasakan secara subjektif oleh penderita

Prognosis: kemungkinan kelanjutan dari suatu penyakit

Diagnosis: penentuan/penjelasan tentang penyebab penyakit

Diagnosa morfologis/diagnosa anatomis: penentuan diagnosa berdasar lokasi dan bentuk2 perubahan yang terjadi (hemorrhagic enteritis, dll.).
Diagnosa etiologi: penentuan diagnosa berdasar penyebab penyakit (dirofilariasis, dll.).
Diagnosa definitive:  penentuan diagnosa berdasar penyebab penyakit spesifik (canine distemper, dll.).
Diagnosa klinis: penentuan diagnosa berdasar gejala klinis. 

Pathogenesis: sequens perkembangan penyakit dari awal kejadian penyakit hingga kesembuhan atau kematian.

Necropsy: bedah bangkai


Autopsy: bedah mayat
Biopsy: pengambilan jaringan (sedikit dari makhluk hidup) guna pemeriksaan histopatologi.
Euthanasia: mematikan makhluk hidup secara sengaja secara manusiawi.

Somatic death: kematian seluruh tubuh – hilangnya denyut jantung, tekanan darah, pernafasan dan gelombang otak.

Necrobiosis: kematian sel normal secara normal yang terjadi pada makhluk hidup (epithelial cells of the skin, leukocytes, dll).
Necrosis: perubahan morphologis pada sel akibat daya rusak dari enzim2 pada sel yang mengalami kematian pada makhluk hidup. Pada saat sel mati, lisosom2 akan pecah dan mengeluarkan enzim2 hydolosis.
Necrotic cells adalah sel mati tetapi sel mati belum tentu necrosis.

Postmortem changes: kerusakan sel setelah terjadinya kematian individu.

Postmortem autolysis: self-digestion oleh enzyme2 yang terdapat dalam sel2 setelah terjadinya kematian.
Postmortem putrefaction: pembusukan/dekomposisi akibat enzym2 yang dihasilkan oleh bakteri2 setelah terjadinya kematian.
Rigor mortis: kaku bangkai, mulai antara 1-6 jam, diakhiri 24-48 jam.
Postmortem clotting: pembekuan darah yang terjadi setelah kematian (merah gelap/current jelly clots atau kuning/chicken fat clots).
JENIS PATHOLOGY:

General pathology: mempelajari perubahan2 dasar yang terjadi pada jaringan – atrophy, necrosis, radang

Systemic pathology: mempelajari perubahan2 yang diakibatkan oleh penyakit pada organ2 tertentu secara system. Misalnya sistem respirasi, sirkulasi, pencernaan dll

Gross pathology (macroscopic pathology, pathological anatomy,morbidanatomy): mempelajari/memeriksa penyakit dengan pemeriksaan mata biasa

Cellular pathology (microscopic pathology, histopathology): mempelajari/memeriksa penyakit dengan bantuan mikroskop

Surgical pathology: mempelajari/memeriksa organ tubuh pada saat dilakukan operasi.

Clinical pathology: mempelajari penyakit dengan cara memeriksa darah, urine, feces, kerokan kulit dll.

Immunopathology: mempelajari penyakit yang terkait dengan sistem kekebalan tubuh.


RINGKASAN ISTILAH PATOLOGI:


"Kasus" seperti yang diuraikan di bawah ini diharapkan dapat membantu mengenali istilah2 umum ditemui dalam patologi.

"Seekor anjing herder, 12-tahun, dibawa ke klinik hewan dengan riwayat depresi, selaput lendir pucat, dan sulit bernafas setelah latihan. Pemeriksaan fisik dilakukan oleh dokter jaga menyebutkan adanya eksudat di sekitar cuping hidung, peningkatan denyut nadi, dan abnormalitas suara jantung suara (gejala  klinis). Disimpulkan bahwa anjing tersebut memiliki tanda-tanda yang mengarah pada gagal jantung dan radang paru2 (diagnosa klinis) Pemilik diberitahu bahwa anjing itu kemungkinan besar akan mati walaupun diberikan perawatan secara intensif (prognosis).. Beberapa hari kemudian, pemilik membawa lagi anjing tersebut ke klinik dan pemilik menginginkan anjingnya ditidurkan (dimatikan) secara manusiawi (euthanasia), dan dilakukan bedah bangkai secara sistematis (pemeriksaan nekropsi). Pada pemeriksaan organ dan jaringan (gross examination) terlihat sekitar 40% dari seluruh bagian paru mengalami konsolidasi dan abses2 kecil terdistribusi merata di seluruh lobus (lesi). Terjadi penebalan dinding ventrikel kanan dan terdapat banyak Dirofilaria immitis didalam lumennya (etiologic agent). Berdasarkan temuan tersebut, disimpulkan bahwa anjing menderita Dirofilariasis (diagnosa etiologi) dan bronkopneumonia supuratif (diagnosis morfologi). Jaringan dikumpulkan untuk pengujian bakteriologis maupun virologis (pemeriksaan mikrobiologis) dan untuk pemeriksaan patologi (pemeriksaan histopatologi). Pada pemeriksaan mikrobiologis, berhasil diisolasi Staphylococcus aureus (etiologi agen) dari abses paru-paru. Pada pemeriksaan mikroskopis banyak ditemukan neutrofil serta necrosis pada parenkim paru-paru (lesi mikroskopik). Selain itu, banyak ditemukan badan inklusi dalam sel epitel bronkus (lesi pathognomonic) yang karakteristik untuk distemper (diagnosis definitif). Berdasarkan lesi dan temuan laboratorium inilah kemudian ahli patologi mencoba untuk merekonstruksi urutan kejadian dari titik awal penyakit sampai perkembangan terakhirnya (patogenesis).

MENENTUKAN PENYAKIT DENGAN PEMERIKSAAN BEDAH BANGKAI
Nekropsi komplit:
Nekropsi: pembedahan secara sistematis untuk melihat lesi2 (jejas)
- Pemeriksaan secara gross anatomi (makroskopis)
- Pemeriksaan secara mikroskopis
- Pengujian mikrobiologis
- Pemeriksaan toksikologis

Nekropsi:
- Harus dilakukan segera setelah hewan mati (menghindari postmortem autolysis dan pembususukan)
- Semua temuan dicatat dalam formulir nekropsi.
- Semua organ (luar dalam) diperiksa secara teliti

Sapi, kerbau dibaringkan dengan sisi kiri ada dibagian bawah.
Kuda dibaringkan dengan sisi kanan dibagian bawah
Hewan kecil diletakkan dengan punggung dibagian bawah.

Spesimen dikumpulkan untuk pemeriksaan/ pengujian histopatologi, mikrobiologi dan toksikologi.

Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi:
- Diambil dari berbagai organ yang mengalami perubahan (ada bagian normal dan bagian berubah). Tebal tidak boleh terlalu tebal (+/- 0,5 cm).
- Dimasukkan dalam 10% neutral-buffered formalin (minimal 10x volume spesimen).
- mencegah autolysis
- menjaga kondisi sel seperti saat masih hidup
- mencegah pengerasan organ
- Suhu kamar, tidak boleh dibekukan.

Spesimen untuk pengujian mikrobiologis

- Bakteri, virus, fungi
- diambil sesegera mungkin.
- Tiap spesimen harus terpisah
- Jenis spesimen tergantung penyakit yang dicurigai
- Rutin: paru, limpa, ginjal dan ileum
- Tidak boleh terkena formalin atau pengawet lainnya.
- Disimpan dalam suhu dingin

Spesimen untuk pengujian virologis

- Sama seperti diatas, tapi dapat dibekukan.

Spesimen untuk mikologi
- Kerokan kulit, bulu dll.
- Disimpan dalam kontainer kering tertutup rapat.
- Tidak boleh lembab.

Spesimen untuk pemeriksaan rabies
- Histopatologi: otak (hypocampus, otak kecil, setengah bagian otak) dalam formalin
- Virologis: otak (hypocampus, otak kecil, setengah bagian otak) segar dingin/beku atau dalam pengawet glycerin

Spesimen untuk pemeriksaan toksikologi
- Isi lambung, urine, darah, hati, ginjal
- Kontainer masing2 organ secara terpisah
- Dibekukan

Kamis, 22 Maret 2012


pertolongan pada sapi saat partus



Proses beranak atau melahirkan bagi sapi betina merupakan bagian penting dari proses reproduksi yang dimulai dari perkawinan/inseminasi, kebuntingan dan akhirnya beranak. Tahapan-tahapan penting ini memberikan tanda-tanda khusus yang dapat diamati oleh pengelola peternakan atau para peternak sapi. Keberhasilan pemeliharaan sapi betina sangat ditentukan oleh baiknya proses reproduksi yang dilalui oleh sapi induk. Kerena sapi beranak satu kali dalam setahun/semusim maka kelahiran anak yang lancar tanpa mengalami kesulitan akan sangat menguntungkan peternak.
Untuk itu kelahiran anak dari induk yang sehat tanpa mengalami kesulitan melahirkan akan juga berpengaruh terhadap perkembangan anak yang dilahirkan, juga akan berpengaruh terhadap induk sapi tersebut dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tahapan-tahapan reproduksi atau kebuntingan berikutnya.
Selain dari faktor sapi, faktor peternak juga harus berperan aktif dalam membantu kelancaran reproduksi sapinya. Khusus menjelang sapi beranak, peternak harus rajin mengamati tanda-tanda sapi yang akan segera beranak terutama pada kebuntingan tua. Bagaimana tanda-tanda sapi yang akan melahirkan?, berikut panduan buat para peternak: 

a. Ambing membesar dan terdapat tonjolan-tonjolan vena di sekitarnya. Dari puting keluar kolostrum apabila dipencet. Urat-urat daging sekitar vulva tampak mengendor sehingga sebelah kanan dan kiri pangkal ekor kelihatan cekung, dan diperkirakan kelahiran akan terjadi kurang dari 24 jam. Hal ini diikuti dengan pengendoran ligementum sacropenosum tuberosum.

b. Jika saat beranak tiba, maka induk sapi menjadi gelisah dan berjalan berputar-putar, sebentar tidur, sebentar berdiri, dan kadang-kadang mengeluarkan feses sedikit-sedikit.
c. Vulva kelihatan memerah, bengkak dan keluar lendir.
Menurut Partodihardjo (1980), tanda-tanda akan datangnya suatu kelahiran pada ternak, pada umumnya hampir sama dari spesies ke spesies. Pada sapi tanda yang dapat diamati antara lain:
1. Induk sapi gelisah, edema pada vulva, lendir yang menyumbat serviks mencair, kolostrum telah menjadi cair dan mudah dipencet keluar dari puting susu.
2. Terjadi relaksasi pada bagian pelvis, terutama ligamentum sacrospinosum dan tuberosum. Relaksasi ini menyebabkan urat daging di atas pelvis mengendor. Jika diraba, urat daging di sebelah kiri dan kanan pangkal ekor terasa kendor dan lunak jika dibandingkan dengan perabaannya pada waktu kebuntingan masih berumur 6 atau 7 bulan. Bila urat daging yang menghubungkan pangkal ekor dengan tuber ischii ini telah sedemikian kendornya, maka dapat diramalkan bahwa kelahiran sudah tinggal 24-48 jam lagi.
3. Relaksasi urat daging pangkal ekor ini sekali-sekali disertai dengan kenaikan pangkal ekor (agak menjadi tegak seperti pada waktu sapi sedang birahi/estrus).
4. Vulva yang bengkak besarnya menjadi 2 sampai 4 kali daripada sebelumnya, dan jika dipegang terasa sangat lembek.
5. Perubahan lain yang sangat menonjol menjelang kelahiran adalah lendir serviks dan pembukaan serviks. Lendir serviks pada kebuntingan tua, 8 sampai 9 bulan berubah dari kental sekali menjadi agak cair. 
6. Menjelang kelahiran, lendir yang kental berwarna kuning jernih mencair seperti madu meleleh dan volumenya menjadi banyak serta sifatnya lebih cair. Jika dimasukkan jari ke dalam serviks maka teraba serviks sudah mulai terbuka. 
7. Pembukaan serviks dapat diikuti dengan cara memasukkan jari ke dalam lumennya. Jika satu jari dapat masuk maka diramalkan bahwa kelahiran masih kurang 3 hari; jika terbuka selebar 2 jari maka kelahiran diramalkan akan terjadi 1-2 hari kemudian, dan jika terbuka selebar 3 jari, kelahiran dapat berlangsung beberapa jam sampai 1 hari kemudian.
Apabila sapi sudah memperlihatkan gejala-gejala akan melahirkan maka harus dipersiapkan segala peralatan yang diperlukan terutama untuk pedet yang baru lahir. Di samping itu beberapa persiapan yang perlu dilakukan adalah:
a. Untuk induk sapi yang akan melahirkan perlu ditempatkan pada kandang beranak atau padangan yang kering dan bersih. Kegunaan kandang beranak tersebut yaitu memudahkan pergerakan induk sapi sebelum melahirkan atau ketika proses kelahiran berlangsung, karena perbaikan fetus dalam kandungan akan lebih mudah jika induk sapi dalam keadaan bergerak/berjalan. 
b. Amati perubahan tiap jam/sekali. Amati terhadap gejala partus dan siap memberikan bantuan bila diperlukan.
c. Jika induk sapi tampak sehat dan proses melahirkan (partus) akan berjalan normal maka pertolongan dari luar tidak diperlukan. Pertimbangan bahwa partus akan berjalan normal ialah mengenal tanda-tanda partus dengan baik, memperhitungkan waktu dan tahap kelahiran serta stadium-stadium perejanan. Jika waktu dan stadium maupun tahap kelahiran tidak menyimpang terlalu banyak dari kebiasaannya, maka proses partus pada umumnya akan berlangsung normal

Rabu, 21 Maret 2012

Azwar Vet Blog: INTISELFungsi inti atau nucleussebagai pusat pen...

Azwar Vet Blog:

INTISELFungsi inti atau nucleussebagai pusat pen...
: INTI SEL Fungsi inti atau nucleus sebagai pusat pengatur genetik sel eukariot. Nukleus adalah “blue print” hereditas sel yang mengatur a...


Satu-satunya payung hukum Kesehatan Hewan di Indonesia adalah Undang-Undang no.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Tetapi Undang-Undang ini tidak mencabut Staatsblad 1912 no.432 tentang : Campur tangan pemerintah dalam bidang Kehewanan. Prof M Suparwi, 1946 Dekan Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan Universitas Gadjah Mada di Klaten, Staatsblad 1912 no.432 disebut juga sebagai Undang-Undang Veteriner.
Lahirnya UU no.6 tahun 1967.
Penyusun UU no.6/1967 adalah para Dokter Hewan lulusan Fakultas Kedokteran Hewan dan adapula yang lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan. Pada Departemen Pertanian adanya Jawatan Kehewanan Pusat dan didaerah Dinas Kehewanan. Pada pra Repelita I sudah dituntut peningkatan produksi bidang Peternakan bukan hanya Kesehatan Hewan saja yang dikelola oleh para Dokter Hewan. Masih terngiang pada telinga penulis ucapan kata-kata Menteri Pertanian Mr Sutjipto: Dokter Hewan tahunya hanya katurangga kuda, cantiknya kucing maupun anjing, bukan mengetahui bagaimana meningkatkan produksi daging, telur, susu dan produk ternak lainnya. Maka oleh para Dokter Hewan disusun suatu RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan menitik beratkan kepada produksi Peternakan. Kesehatan Hewan hanya menunjang kesehatan hewan produksi atau peternakan. Begitu sempitnya masalah hewan: pada pasal 1 butir a.. UU no.6 tahun 1967, hewan adalah hewan yang hidup didarat. Pembangunan peternakan sebagai fokus utama dari UU no.6/1967 dan menganak tirikan Kesehatan Hewan. Sementara itu ruang lingkup Kesehatan Hewan hanya meliputi Kesehatan Hewan ansig atau Kesejahteraan Hewan melulu tanpa mempermasalahkan keterkaitannya dengan Kebahagian dan Kesejahteraan manusia-nya. Oleh para penyususun UU no.6/1967, masih tetap memberlakukan Staatsblad 1912 no.432 didalam menanggulangi Hewan dan Penyakitnya serta keterkaitannya dengan kebahagiaan & kesejahteraan manusia.
Menanggulangi Hewan dan Penyakitnya serta keterkaitannya dengan Kebahagiaan & Kesejahteraan manusia merupakan Rancangan Undang-Undang yang diusulkan PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia ) menjadi RUU Veteriner. Staatsblad 1912 no.432 beserta Staatsblad lainnya masih berlaku hingga saat ini di Indonesia hanya pada UU no: 16 tahun 1992…tentang Karantina telah mencabut Staatsblad 1912 no.432 dan Staatsblad lainnya dalam konteks per Karantinaan.

Makna Veteriner.
Ekosistem mahluk hidup Ciptaan Tuhan meliputi: manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang mengikuti hukum alam: keterikatan dan ketergantungan. Upaya Kesehatan Hewan didalam hubungan antara manusia dengan hewan yang disebut dengan Veteriner. Dibeberapa negara Undang-Undang tentang Kesehatan Hewan disebut Veterinary Act dan bukan menggunakan Animal Health Act. Dari sudut pandang arti kata: dalam kamus The Conteporary English-Indonesia oleh Drs Salim: Veterinary (di Indonesiakan: VETERINER) adalah berkenaan dengan pengobatan penyakit hewan. Sedangkan didalam kamus Medical Dictionary Blackistone: Veterinary atau veteriner berkaitan dengan pekerjaan seorang dokter hewan Veteriner adalah upaya menyehatkan hewan (Kesejahteraan Hewan) dan juga mensejahterakan serta membahagiakan manusia. Berbeda dengan pengertian Kesehatan Hewan hanya menyehatkan hewan saja.tanpa mensejahterakan/membahagiakan manusia. Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) memiliki moto: Manusyia meriga satwa sewaka berarti: Mensejahterakan dan membahagiakan manusia melalui kesehatan hewan. Moto PDHI sinkron dengan makna dari Veteriner. Dengan makna Veteriner , para penyusun Undang-Undang no.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ditahun 60 puluhan tidak mencabut Staatsblad 1912 no.432 . Prof M Suparwi Dekan Pertama Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Gadjah Mada 1946 di Klaten Staatsblad 1912 no. 432 disebut Undang-Undang Veteriner. Pada tempatnyalah: RUU Kesehatan Hewan dirubah menjadi RUU Veteriner secara tersendiri
Berbagai tantangan sehingga diperlukan RUU Veteriner.
* Mengatasi penyakit busung lapar atau gizi buruk bagi balita , diberbagai daerah mulai bermunculan yang disebabkan oleh kekekurangan kalori dan protein (PCM).
Penyakit busung lapar disebabkan : ketidak mampuan dan ketidak tahuan. Pengalaman penulis ber-KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Kabupaten Gunung Kidul yang tertimpa busung lapar ditahun 50 puluhan . Upaya Kesehatan Hewan mengobati dan mencegah penyakit hewan milik petani juga diberikan manfaat dari mengkonsumsi unggas atau meminum susu kambing atau kerbau milik sendiri. Dimasa Orde Baru Bupati Gunung Kidul seorang Dokter Hewan menyatakan: Gunung Kidul sumber ayam buras dan kambing kacang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga saat ini belum pernah diberitakan busung lapar di Kabupaten Gunung Kidul.
* Kesehatan Reproduksi Hewan., menghasilkan bibit hewan yang baik untuk meningkatkan produksi, menyehatkan hewan konservasi, mempertahankan plasma nuftah dalam menghadapi kemusnahan berbagai jenis hewan yang dilindungi. Tehnik Kesehatan Reproduksi pada hewan hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang memiliki kewenangan medis veteriner. Ahli reproduksi pada UU no.6/1967 tidak memiliki kewenangan medis meng-aplikasikan tehnik reproduksi pada hewan. Aplikasi tehnologi artificial insination pada hewan misalnya pada ikan, unggas, sapi, babi da lain-lain hanya dapat dilaksanakan pada mereka yang memiliki kewenangan medis veteriner atau bagi mereka yang telah memiliki limpahan kewenangan medis veteriner. Sehingga diperlukan adanya Undang-Undang Veteriner didalam mengahadapi tantangan Kesehatan Reproduksi Hewan.
* Pencegahan Penyakit Hewan Menular. berbagai penyakit hewan menular mewabah di Indonesia seharusnya memiliki payung hukum baik didalam pengobatan, pencegahan maupun mempertahankan Indonesia tetap bebas dari penyakit hewan menular. Indonesia adalah negara bebas penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sejak tahun 1991 sesudah 100 tahun dari saat pertama sekali munculnya PMK di Malang pada tahun 1891. Indonesia juga bebas penyakit Sapi-gila, impor MBM (meat and bone meal) ilegal dari Spanyol yang diduga mengandung prion penyakit Sapi-gila tidak memiliki payung hukum didalam me-reekspor didalam rangka pencegahan penyakit Sapi-gila. Diperlukan UU Veteriner yang dapat memayungi : pengobatan, pencegahan dan mempertahankan tetap bebas dari suatu penyakit menular pada hewaan.
* Menghadapi ancaman berbagai Penyakit Zoonosis; berbagai penyakit zoonosis yang bermunculan secara global ada juga dijumpai di Indonesia seperti penyakit
HIV/AIDS, SARS, virus Nipah atau Batuk 1 km, penyakit Anthraks, Flu-burung dan sebagainya. Menurut OIE (Badan Kesehatan Hewan Dunia) penyakit zoonosis yang akan dapat mengancam dunia secara global. Penyakit zoonosis adalah penyakit hewan yang dapat dipindahkan kemanusia yang memiliki batas penularan serta juga memerlukan waktu untuk menjadi zoonosis. Misalnya penyakit Flu-burung memerlukan 119 tahun baru menjadi zoonosis sedang di Indonesia hanya memerlukan waktu 23 bulan. Disebabkan adanya penularan dari hewan kemanusia, dijumpai adanya batas penularan demikianpun adanya kewenangan medis. Pada HIV/AIDS batas penularan antar manusia walaupun pada mulanya berasal dari hewan yaitu gorila. Sumber penularan pada mulanya dari gorila, tatkala telah terjadi penularan antar manusia maka kewenangan medis veteriner diabaikan serta kewenangan medis pada manusia sebagai pokok utama diadalam penanggulangan. Penularan penyakit Flu-burung batas penularan dari hewan ke-manusia dan belum dijumpai penularan antar manusia tetapi kewenangan medis pada manusia sebagai garis depan dengan mengesampingkan kewenangan medis veteriner. Pada kenyataannya virus H5N1 dari penyakit Flu-burung hidup diunggas ditularkan antar unggas serta dapat ditularkan ke manusia tetapi belum ditularkan antar manusia. Sehingga diperlukan suatu Undang-Undang Veteriner didalam menanggulangi penyakit Zoonosis secara internal untuk menanggulangi dampak global..
* Kesehatan Masyarakat Veteriner, dalam rangka ketahanan pangan memperluas jaringan proses produk pangan hewani. Didalam kaitan dengan keamanan pangan tentang toksis kimia dan fisik seperti formalin, logam-logam berat seperti penyakit disebabkan pangan hewani yang mengandung Pb, Hg As dan lain-lain , obat-obatan hewan seperti kloramfenikol dalam udang sehingga Uni Eropa melarang ekspor udang Indonesia dalam pangan hewani dan sebagainya , zasad renik berupa prion, virus, bakteri dan parasit didalam pangan hewani. Baik untuk ketahanan pangan maupun keamanan pangan hewani memerlukan adanya rambu-rambu yang diatur didalam Undang-Undang Veteriner.
* Otoritas Veteriner dan Pelayanan Kesehatan Hewan, pada dunia medis dikenal adanya kewenangan medis atau yang disebut dengan medical authority. Medical authority hanya dimiliki oleh mereka yang berprofesi dokter atau dokter hewan. Kewenangan medis pada dunia kedokteran hewan disebut Veterinary Medical Authority atau Kewenangan Medis Veteriner yang dimiliki oleh Dokter Hewan. Kewenangan Medis Veteriner meliputi: anamnese, diagnosis, therapi dan prognosis dari penyakit hewan. Dalam Staatsblad 1912 no.432 disebut: Discundige atau di Indonesiakan: Ahli yang memiliki kewenangan. Sebagai contoh untuk meng-ekspor udang: health certificate atau Surat Kesehatan Hewan , pertama sekali harus diperiksa mereka yang memiliki Kewenangan Medis Veteriner dan Surat Keterangan Kesehatan Hewan ditanda tangani oleh mereka yang memiliki Otoritas Veteriner. Otoritas Veteriner dan Pelayanan Kesehatan Hewan memerlukan Undang-Undang Vetriner sebagai payung hukum.
* Mencegah agen bioterorisma, berbagai senjata biologis yang dipergunakan sebagai senjata bioterorisme sebagian terbesar bersumber dari penyakit hewan yang ditularkan kemanusia yang juga dijumpai di Indonesia. Seperti Bacilus anthraxis yang menyebabkan penyakit antraks baik pada hewan maupun pada manusia, Toxin dari Bacillus botulismus yang disebut Botox dipergunakan sebagai obat kosmmetik pada manusia, virus Flu-burung dan berbagai penyebab penyakit zoonosis lainnya . Dengan mudah diperoleh / diperbuat dan dipergunakan di Indonesia sehingga diperlukan rambu-rambu pembuatan dan penggunaan berupa Undang-Undang Veteriner.
* Pengawasan Organisme dan Produk Hasil Rekayasa Genetika, berbagai jenis hewan yang telah dihasilkan dengan rekayasa genetika misalnya doc (ayam umur satu hari) , ikan yang lebih tahan terhadap pembusukan, hormon yang dihasilkan dengan rekayasa genetika yang dapat meningkatkan produksi susu atau daging, untuk pengobatan misalnya obat insulin bagi amnusia dihasilkan dari hasil rekayasa genetika gen pankreas babi dengan Bakteria coli, gene terapi pada manusia, xenotransplantation atau transplantasi organ hewan yang dihasilkan melalui rekayasa genetika sehingga menyerupai organ manusia misalnya katub jantung babi, menghasilkan vaksin rekombinan sebagai hasil rekayasa genetika dan lain-lain.
Sehingga diperlukan rambu-rambu Undang-Undang Veteriner menghasilkan Organisme dan Produk Hasil Rekayasa Genetika didalam kaitan dampak kesehatan, ekonomi, lingkungan dan sosial.
Berbagai Undang-Undang yang masih berlaku di Indonesia dapat dipergunakan sebagai Penyangga RUU Veteriner.
1.Kecukupan, Peningkatan Produksi dan Keamanan Pangan Hewani, Ruang Lingkup dari RUU Veteriner dijumpai pada:
1.1. Undang-Undang no.7 tahun 1996, tentang Pangan.
1.2. Undang-Undang no.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
1.3. Undang-Undang no.31 tahun 2004 tentang Perikanan.
1.4. Undang-Undang no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. Menyehatkan Hewan
2.1. Undang-Undang Kehutanan no. 41 tahun 1999 yang telah dirubah
menjadi UU no.1 tahun 2004 .
2.2. Undang-Undang Konservasi Alam no.5 tahun 1990.
2.3. Undang-Undang Perikanan no.31 tahun 2004.
2.4.Undang-Undang no.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
2.5. Staatblads 1912 no.432 tentang Campur tangan Pemerintah
terhadap bidang Kehewanan.
2.6. Undang-Undang Kesehatan no.32 tahun 1992.
2.7. Undang-Undang no.4 tahun 1984 tentang Penyakit Menular
2.8. Undang-Undang no. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuh-tumbuhan.
3.Kesehatan Hewan Konservasi, Satwa Liar dan Hewan Laboratorium.
3.1. Undang-undang Koservasi Alam no.5 tahun 1990.
3.2 . Undang-undang no.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
4.. Lembaga Otoritas Veteriner dan Pelayanan Kesehatan Veteriner
4..1. Staatblads 1912 no.432
4..2. Undang-Undang no.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
5. Pemcegahan Bioterorisme .
Hanya dijumpai pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
UUno.1 tahun 2002 tentang Pembrantasan Tindak Pidana Terorisme
6. Hasil Rekayasa Genetika dan Produknya .
6.1. Undang-Undang no. 5 tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation
on Biologic Diversity.
6.2. Undang-Undang no.3 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
6.3. Peraturan Pemerintah no. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati
Produk Rekkayasa Genetika.
RUU Veteriner sebagai perpanjangan tangan Konvensi Internasional.
1.Kesepakatan Cartagena mengenai Organisme dan Produk Rekayasa Genettika.
2. Pengawasan agen bioterorisme.
3. Kesiap Siagaan menghadapi pandemi Influenza disebabkan Flu-burung.
4. Menghadapi United Nation on Biologic Diversity
5. Menghadapi Sanitary and Phytosanitary dari WTO
6. Dan lain-lain.
Dari berbagai tantangan yag dihadapi, adanya Undang-Undang yang masih berlaku sebagai penyangga dan dipergunakan sebagai perpanjangan tangan Konvensi Internasional : Indonesia memerlukan UU Veteriner dan bukan UU Kesehatan Hewan.


Termoregulasi adalah kemampuan yang dimiliki oleh hewan untuk mempertahankan panas tubuhnya. Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1.    Hewan Poikiloterm, yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan.
2.    Hewan Homoiterm, yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah.
Kehilangan Panas
  Suhu kulit lebih tinggi dari suhu lingkungan panas dibuang dengan cara Radiasi dan Konduksi.
  Suhu kulit lebih rendah dari suhu lingkungan panas masuk tubuh dengan cara Radiasi dan konveksi.
Mekanisme perubahan panas tubuh terjadi dengan 4 proses:
1.    Konduksi adalah perubahan panas tubuh hewan karena kontak dengan suatu benda.
2.    Konveksi adalah transfer panas akibat adanya gerakan udara atau cairan melalui permukaan tubuh.
3.    Radiasi adalah emisi dari energi elektromagnet. Radiasi dapat mentransfer panas antar obyek yang tidak kontak langsung. Sebagai contoh, radiasi sinar matahari.
4.    Evaporasi proses kehilangan panas dari permukaan cairan yang ditranformasikan dalam bentuk gas.
Termoregulasi pada Hewan
Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pengaturan cairan tubuh, dan ekskresi adalah elemen-elemen dari homeostasis. Dalam termoregulasi dikenal adanya hewan berdarah dingin (cold-blood animals) dan hewan berdarah panas (warm-blood animals). Namun, ahli-ahli Biologi lebih suka menggunakan istilah ektoterm dan endoterm yang berhubungan dengan sumber panas utama tubuh hewan. Ektoterm adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari lingkungan (menyerap panas lingkungan). Suhu tubuh hewan ektoterm cenderung berfluktuasi, tergantung pada suhu lingkungan. Hewan dalam kelompok ini adalah anggota invertebrata, ikan, amphibia, dan reptilia. Sedangkan endoterm adalah hewan yang panas tubuhnya berasal dari hasil metabolisme. Suhu tubuh hewan ini lebih konstan. Endoterm umum dijumpai pada kelompok burung (Aves), dan mamalia. Pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua golongan, yaitu poikiloterm dan homoiterm. Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin. Dan hewan homoiterm sering disebut hewan berdarah panas.
Pada hewan homoiterm suhunya lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan homoiterm mempunyai variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan yang dikonsumsi dan faktor jenuh pencernaan air.
Hewan berdarah panas adalah hewan yang dapat menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu tertentu yang konstan biasanya lebih tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya. Sebagian panas hilang melalui proses radiasi, berkeringat yang menyejukkan badan. Melalui evaporasi berfungsi menjaga suhu tubuh agar tetap konstan. Contoh hewan berdarah panas adalah bangsa burung dan mamalia, hewan yang berdarah dingin adalah hewan yang suhu tubuhnya kira-kira sama dengan suhu lingkungan sekitarnya.
Suhu tubuh tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi dengan panas yang hilang. Panas yang hilang dapat berlangsung secara radiasi, konveksi, konduksi dan evaporasi. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik, tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan lansung tanpa ada transfer panas molekul. Panas menjalar dari yang suhunya tinggi kebagian yang memiliki suhu yang lebih rendah. Konveksi adalah suatu perambatan panas melalui aliran cairan atau gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak dan perbedaan suhu. Evaporasi merupakan konveksi dari zat cair menjadi uap air, besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi. Hewan mempunyai kemampuan adaptasi terhadap perubahan suhu lingkungan. Sebagai contoh, pada suhu dingin, mamalia dan burung akan meningkatkan laju metabolisme dengan perubahan hormon-hormon yang terlibat di dalamnya, sehingga meningkatkan produksi panas. Pada ektoterm (misal pada lebah madu), adaptasi terhadap suhu dingin dengan cara berkelompok dalam sarangnya. Hasil metabolisme lebah secara kelompok mampu menghasilkan panas di dalam sarangnya.
Beberapa adaptasi hewan untuk mengurangi kehilangan panas, misalnya adanya bulu dan rambut pada burung dan mamalia, otot, dan modifikasi sistim sirkulasi di bagian kulit. Kontriksi pembuluh darah di bagian kulit dan countercurrent heat exchange adalah salah satu cara untuk mengurangi kehilangan panas tubuh. Perilaku adalah hal yang penting dalam hubungannya dengan termoregulasi. Migrasi, relokasi, dan sembunyi ditemukan pada beberapa hewan untuk menurunkan atau menaikkan suhu tubuh. Gajah di daerah tropis untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara mandi atau mengipaskan daun telinga ke tubuh.