Sapi ternak adalah hewan ternak anggota familia Bovidae dan subfamilia Bovinae.
Sapi dipelihara terutama untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Hasil sampingan, seperti kulit, jeroan, dan
tanduknya juga kemudian dimanfaatkan. Di sejumlah tempat, sapi juga dipakai
untuk membantu bercocok tanam, seperti menarik gerobak atau bajak.
Sapi
ternak saat ini merupakan keturunan dari jenis liar yang dikena sebagai
Auerochse atau Urochse (bahasa Jerman berarti
"sapi kuno", nama ilmiah: Bos
primigenius), yang sudah punah di Eropa sejak 1627. Sapi ternak meski banyak
jenisnya tetapi umumnya digolongkan menjadi satu spesies saja. (www.wikipedia.co.id)
Banyaknya
jenis sapi, baik lokal dan juga yang telah didomestikasikan menyebabkan
bertambahnya semangat para peternak untuk tetap menggiatkan dan mengangkat
derajat sapi dan juga selalu memperkenalkan jenis jenis sapi baik sapi perah
maupun sapi pedaging kepada masyarakat luas.
Berikut ada beberapa contoh
– contoh sapi :
a.
Brahman Bull merupakan variasi dari sapi Brahman. Sapi ini berasal dari
India dan merupakan binatang yg dianggap suci, namun dalam perkembangannya
Brahman Bull banyak dikembangkan di Amerika. Sapi Brahman Bull yang ada di
Indonesia berasal dari Amerika. Secara umum Brahman Bull relatif tahan terhadap
penyakit dan mempunyai variasi wana kulit yang beragam dari yang berwarna
putih, coklat sampai yang kehitaman, Brahman memiliki kualitas karkas yang
bagus. Bobot jantan rata-rata 800 kg sedangkan bobot betina rata-rata 550 kg.
b.
Angus merupakan sapi yang mempunyai tingkat kualitas karkas yang sangat
bagus, serta mempunyai ketahanan terhadap penyakit dan merupakan keturunan dari
sapi Brahman. Sapi ini masuk ke Indonesia melalui Selandia Baru. Bobot rata
rata pejantan angus 900 Kg, sedangkan bobot rata rata betinanya 700 kg. Sapi
ini juga mempunyai tingkat produktivitas dalam berkembang biak yang sangat
bagus, dimana betinannya mempunyai kemampuan yang sangat bagus untuk berkembang
biak dan menyusui anaknya
c.
Diamond Liousine Merupakan keturunan sapi Eropa yang berkembang di
Perancis. Sapi jenis inilah yang merajai pasar-pasar sapi di Indonesia dan
merupakan sapi primadona untuk penggemukan dengan harganya relatif mahal karena
sapi ini mempunyai tingkat ADG yang tinggi.
d.
Beef master merupakan persilanagan antara sapi
Brahman-Hereford-shorthorn yang dikembangkan pertama kali oleh Mr. Lasater.
Kombinasi antara ketiga sapi diatas menghasilkan sapi yang superior.
e. Shorthorn Sapi ini dikembangkan di
negara Inggris. Bobot jantan rata-rata 1100 kg sedangkan bobot betina rata-rata
850 kg dengan warna merah, putih, merah dan putih. Mempunyai bentuk putting
susu yang baik dan produksi susunya pun baik. Anaknya kecil , namun akan tumbuh
dengan cepat besar. Kualitas dagingnya baik. Berasal dari Inggris bagian Utara,
sebagai sapi perah. Di eksport ke Amerika pertama kali pada tahun 1780. Disebut
juga sebagai sapi jenis DURHAM.
f.
Sapi
PO (singkatan dari Peranakan Ongole), di pasaran juga
sering disebut sebagai Sapi Lokal atau Sapi Jawa atau Sapi Putih. Sapi PO ini hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi
betina Jawa yang berwarna putih. Sapi
Ongole (Bos Indicus) sebenarnya berasal dari India, termasuk tipe sapi pekerja
dan pedaging yang disebarkan di Indonesia sebagai sapi Sumba Ongole (SO).
Warna
bulu sapi Ongole sendiri adalah putih abu-abu dengan warna hitam di sekeliling
mata, mempunyai gumba dan gelambir yang besar menggelantung, saat mencapai umur
dewasa yang jantan mempunyai berat badan
kurang dari 600 kg dan yang betina kurang dari 450 kg.
Bobot
hidup Sapi Peranakan Ongole (PO) bervariasi mulai 220 kg hingga mencapai
sekitar 600 kg.
Saat
ini Sapi PO yang murni mulai sulit ditemukan, karena telah banyak disilangkan
dengan sapi Brahman. Oleh karena itu sapi PO sering diartikan sebagai sapi
lokal berwarna putih (keabu-abuan), berkelasa dan gelambir.
Sesuai
dengan induk persilangannya, maka Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan
sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan
kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya
cepat kembali normal setelah beranak, jantannya memiliki kualitas semen yang
baik.
Keunggulan sapi PO ini antara lain : Tahan terhadap
panas, tahan terhadap ekto dan endoparasit; Pertumbuhan relatif cepat walau pun
adaptasi terhadap pakan kurang; Prosentase karkas dan kualitas daging baik.
Sapi
PO ini SUDAH diternakkan di DOMPI, dan menjadi salah satu primadona
utama, relatif paling banyak dicari di pasaran.
g. Sapi Bali (Bos Sondaicus) adalah sapi
asli Indonesia hasil penjinakan (domestikasi) banteng liar yang telah dilakukan
sejak akhir abad ke 19 di Bali, sehingga sapi jenis ini dinamakan Sapi Bali.
Sebagai
"mantan" keturunan banteng, sapi Bali memiliki warna dan bentuk
persis seperti banteng. Kaki sapi Bali jantan dan betina berwarna putih dan
terdapat telau, yaitu bulu putih di bagian pantat dan bulu hitam di sepanjang
punggungnya. Sapi Bali tidak berpunuk, badannya
montok, dan dadanya
dalam.
Sapi
Bali jantan bertanduk dan berbulu warna hitam kecuali kaki dan pantat. Berat
sapi Bali dewasa berkisar 350 hingga 450 kg, dan tinggi badannya 130 sampai 140
cm. Sapi Bali betina juga bertanduk dan berbulu
warna merah bata kecuali bagian kaki dan pantat. Dibandingkan dengan
sapi Bali jantan, sapi Bali betina relatif lebih kecil dan berat badannya
sekitar 250 hingga 350 kg.
Sewaktu
lahir, baik sapi Bali jantan maupun betina berwarna merah bata. Setelah dewasa,
warna bulu sapi Bali jantan berubah menjadi hitam karena pengaruh hormon
testosteron. Karena itu, bila sapi Bali jantan dikebiri, warna bulunya yang
hitam akan berubah menjadi merah bata.
Keunggulan sapi Bali ini antara lain : Daya tahan terhadap
panas tinggi; Pertumbuhan tetap baik walau pun dengan pakan yang jelek;
Prosentase karkas tinggi dan kualitas daging baik; Reproduksi dapat beranak
setiap tahun. Sapi Bali ini SUDAH diternakkan di DOMPI, dan
menjadi salah satu primadona, karena digemari masyarakat.
h.
Sapi
BX (Brahman Cross), adalah ternak sapi hasil
domestikasi/penjinakan sapi Brahmanyang dikembangkan di
Amerika dan Australia dan disilangkan dengan berbagai jenis sapi
lainnya, seperti sapi Shorthorn, sapi Santa Gertrudis, Droughmaster, Hereford,
Simmental, dan sapi Limousin. Hasil silangan ini kemudian disilangkan lagi dengan sapi Brahman sehingga campuran
darah dalam setiap keturunan sangat bervariasi.
Model yang diterapkan dalam pelaksanaan
pengembangan sapi Brahman Cross adalah menghasilkan ternak sapi yang memiliki
pertumbuhan baik dan tahan terhadap iklim tropis serta tahan terhadap
penyakit/hama penyebab penyakit, kutu dan tunggau. Oleh karena itu, sapi ini cocok dikembangkan di Indonesia yang
beriklim tropis.
Warna kulit sapi ini sangat bervariasi antara
lain putih abu-abu, hitam, coklat, merah, kuning, bahkan loreng seperti
harimau. Pasar tradisional tertentu
masih ada yang "fanatik" dengan warna kulit, sehingga dengan
banyaknya variasi warna kulit sapi ini bisa memenuhi selera tiap-tiap pasar
yang cenderung masih spesifik. Sapi Brahman Cross mulai diimport Indonesia
(Sulawesi) dari Australia pada tahun 1973. Pada tahun 1975, sapi Brahman cross
didatangkan ke pulau Sumba dengan tujuan utama untuk memperbaiki mutu genetik
sapi Ongole di pulau Sumba. Importasi Brahman cross dari Australia untuk UPT
perbibitan (BPTU Sumbawa) dilakukan pada tahun 2000 dan 2001 dalam rangka
revitalisasi UPT. Penyebaran di Indonesia dilakukan secara besar-besaran mulai
tahun 2006 dalam rangka mendukung program percepatan pencapaian swasembada
daging sapi.
Dengan
pemeliharaan secara intensif yaitu dengan kandang yang sesuai dan pakan yang
berkualitas serta iklim yang menunjang, sapi ini sangat bagus pertumbuhannya.
Average Daily Gain (ADG) Brahman Cross berkisar antara 1,0 - 1,8 kg/hari.
Bahkan dalam kondisi tertentu bisa mencapai 2 kg/hari. Dibandingkan dengan sapi
lokal terutama PO (Peranakan Ongole) yang ADG nya hanya berkisar 0,4 - 0,8
kg/hari tentunya sapi ini lebih menguntungkan untuk fattening (penggemukan).
Karkas
Brahman Cross bervariasi antara 45% - 55% tergantung kondisi sapi saat timbang
hidup dan performance tiap individunya. Pemeliharaan ideal untuk fattening
adalah selama 60-70 hari untuk sapi betina, sedangkan untuk jantannya antara
80-90 hari, karena apabila digemukkan terlalu lama maka perkembangannya akan semakin lambat dan akan terjadi perlemakan dalam
daging (marbling) yang hal ini di pasar lokal (RPH) tradisional kurang disukai
oleh customer.
Dari
berbagai keunggulan tersebut di atas, dewasa ini di Indonesia terutama di
wilayah Jawa Barat dan Sumatera banyak bermunculan Feedlot yang secara intensif
menggemukan sapi Jenis Brahman Cross ini. Sapi jenis ini belum diternakkan di DOMPI